Entahlah, aku mulai merasa kemiskinan bermain-main di sekitarku setiap kali nulan puasa. Sejak puasa tahun lalu, di mana saya harus menggantungkan hidup pada kawan-kawan. Lama-lama saya merasa malu juga. Dan mulai berbuka dnegan segelas air putih dan sahur dengan menu yang sama.
Beruntunglah waktu itu aku bertemu dengan beberapa kawan baru yang selalu dating pada waktu-waktu tertentu. Sukma misalnya, ketika perutku sudah tidak kuat lagi menahan lilitan maag, entah bagaimana caranya dia muncul dan menawarkan aku sebungkus nasi. Begitu juga yang lain, Ridwan, Ucup, Fahmi, Ira dan yang lainnya. Sesekali, aku ke Piyungan ke rumah Mahwi, sekedar menumpang berbuka dan sahur.
Sepertinya peristiwa ini sedang berulang padaku. Jika tahun lalu, kami bergerombol, sehingga kemiskinan tidak terasa begitu mencengramku, ramadhan tahun ini aku akan sendirian.
Aku merasakan itu kini. Kesendirian akan menelanku mentah-mentah. Aku memiliki banyak kesalahan di mata sebagian orang, tanpa mampu aku membenahinya. Kesendirian, kemiskinan dan rasa perih akan membelitku sepanjang tahun ini. Beberapa rencana sepertinya akan batal. Mungkin pulang kampong, satu-satunya keinginan yang harus aku penuhi. Meskipun aku sadar, kepulanganku yang pertama ini berbeda jauh dari rencana semula.
Kampungku diguncang gempa, dan aku didera kemiskinan. Aku tidak tahu sampai hari ini, dengan apa aku akan pulang. Sementara di tanganku tak sepersen pun uang. Entahlah, mungkin kesedihanku kali ini akan bertambah begitu sampai di rumah nantinya. Apa boleh buat. Lebaran di Yogya, dengan kesendirian, dengan luka baru dan hati diliputi cemas akan rumah dan kampong, mungkin tidak seburuk jika aku berada di rumah, di kampong halaman. Kepulanganku yang pertama ini, dengan kemiskinan ini, mungkin akan cukup melepas keresahan diri, meskipun akan rasa tidak aman dan nyaman akan memburukus epanjang waktu. Apa boleh buat. Menjauh dari kesakitan mungkin pengecut. Tapi menghindari dengan kedekatan yang melulu perih mungkin akan menyelamatkan beberapa rencanaku yang sederhana.
Itu saja. Selamat berpuasa. Selamat berlebaran.
Beruntunglah waktu itu aku bertemu dengan beberapa kawan baru yang selalu dating pada waktu-waktu tertentu. Sukma misalnya, ketika perutku sudah tidak kuat lagi menahan lilitan maag, entah bagaimana caranya dia muncul dan menawarkan aku sebungkus nasi. Begitu juga yang lain, Ridwan, Ucup, Fahmi, Ira dan yang lainnya. Sesekali, aku ke Piyungan ke rumah Mahwi, sekedar menumpang berbuka dan sahur.
Sepertinya peristiwa ini sedang berulang padaku. Jika tahun lalu, kami bergerombol, sehingga kemiskinan tidak terasa begitu mencengramku, ramadhan tahun ini aku akan sendirian.
Aku merasakan itu kini. Kesendirian akan menelanku mentah-mentah. Aku memiliki banyak kesalahan di mata sebagian orang, tanpa mampu aku membenahinya. Kesendirian, kemiskinan dan rasa perih akan membelitku sepanjang tahun ini. Beberapa rencana sepertinya akan batal. Mungkin pulang kampong, satu-satunya keinginan yang harus aku penuhi. Meskipun aku sadar, kepulanganku yang pertama ini berbeda jauh dari rencana semula.
Kampungku diguncang gempa, dan aku didera kemiskinan. Aku tidak tahu sampai hari ini, dengan apa aku akan pulang. Sementara di tanganku tak sepersen pun uang. Entahlah, mungkin kesedihanku kali ini akan bertambah begitu sampai di rumah nantinya. Apa boleh buat. Lebaran di Yogya, dengan kesendirian, dengan luka baru dan hati diliputi cemas akan rumah dan kampong, mungkin tidak seburuk jika aku berada di rumah, di kampong halaman. Kepulanganku yang pertama ini, dengan kemiskinan ini, mungkin akan cukup melepas keresahan diri, meskipun akan rasa tidak aman dan nyaman akan memburukus epanjang waktu. Apa boleh buat. Menjauh dari kesakitan mungkin pengecut. Tapi menghindari dengan kedekatan yang melulu perih mungkin akan menyelamatkan beberapa rencanaku yang sederhana.
Itu saja. Selamat berpuasa. Selamat berlebaran.