Dongeng Kehilangan
Selasa, 4 Desember 2007
Akhirnya aku mulai membencimu
Membencimu sebagai masalalu yang terlalu singkat
Kesendirian adalah kawan yang paling karib
Kurasa mulai saat ini aku tak lagi memiliki apa-apa. Sepeninggalmu, kurasa aku sudah habis. Aku tahu, waktu akan bergerak seperti biasa, dengan rutinitas yang sama. Matahari akan selalu terbit di Timur dan tenggelam di Barat.
Tetapi kehilangan adalah sebuah peristiwa lain. Kau patut merayakannya.
Segalanya penuh kejutan dan serba rahasia. Aku mengenalmu dan kita akrab dengan cepat dan menggarap peristiwa buru-buru. 24 Oktober saat itu, lebaran ke dua tahun 2006, aku merasa memiliki sebuah tanggung jawab setelahnya. Dan jika kemudian, hari ini semuanya selesai – sebenarnya sejak sebulan yang lalu – aku harus belajar menerima dengan nikmat yang sama. Apa sih yang lebih dekat dengan kita selain sakit?
Kurasa kepedihan ini adalah milik kita. Kau juga merasakannya, mungkin menikmatinya dnegan cara yang lain. Setidaknya, sepeninggalku, kau memiliki kawan berbagi. Dan aku? Tapi kita tidak perlu saling menyalahkan waktu yang berpendar setahun ini bukan?
Maka, jika ada salah, satu-satunya yang bisa kita lakukan tentu saja belajar memaafkan. Selebihnya kau akan menggarap peristiwa lain, dan aku dengan pelan tentu akan belajar melangkah pula.
Betapa takut aku dnegan keberangkatan. Sebab itu pula, aku malas mengagarap kenangan dengan sia pun. Aku malas memulai hubungan dnegan orang-orang baru. Merteka hanya akan menggoreskan peristiwa dan tanpa rasa bersalah akan pergi sejauh-jauhnya.
Kau benar, setelah kehilangan barulah kita mengerti apa makna kehadiran bagi kita. Aku, misalnya dua minggu terakhir dihadapkan pada mimpi buruk tentang kau dan dia. Sungguh, malam-malam begitu menyiksa. Aku tak sepenuhnya bisa tidur. Telah lebih dulu bayangmu kuusir, tapi ia hadir dalam wujud lain. Aku berharap, jika di dunia nyata kita memang harus sama-sama sakit, dalam mimpi auks edikit bisa berdamai dnegan dirimu. Tapi tidak. Aku takut mimpi-mimpi itu menjadi nyata. Kau dan dia, sungguh saat ini aku belum bisa menerima.
Aku mencemburui segala hal yang kauciptakan dnegan orang lain. Maka setiap pertemuan kita selalu diisi dengan pertengkaran sengit. Kita sama-sama keras kepala. Kau tak merasa bersalah dan aku merasa kau masih saja milikku. Dan setelahnya kita hanya saling berpeluk dengan rasa yang lain.
Aku pun belum sepenuhnya bisa menerimamu sebagai teman atau saudara. Terlalu cepat pergantian ini. Aku tak siap.
Tapi sejak kini, setelah pertengkaranm singkat tadi pagi, setelah surat-surat tak terbalas, segala keinginan tak terpenuhi dnegan seluruh hatai aku melepasmu. Semoga aku kuat untuk mengatakan “tidak” untuk setiap ajakanmu, semoga aku bisa jauh-jauhdarimu, membiarkan kebahagiaan menjalar di seluruh dirimu.
Aku tak pernah inginkan dirimu jadi bayang-bayangku. Tak terniat olehku. Siapalah aku diantara keramaian dunia ini? Tapi bagimu ini menyiksa dan kita tak akan bisa hidup karenanya. Bagaimana kita bisa menjalinm peristiwa lain jika kau menganggap aku musuh yang diam-diam menerkammu? Bagaimana aku bisa menerima jika kau pikir aku orang yang diam-diam menghancurkan hidupmu?
Aku mencintaimu maka aku harus emlepaskan dirimu.
Sebuah cerita Murung
Akhirnya, kau mau jujur juga padaku, bercerita tentang banyak hal yang selama ini begitu
Segalanya telah begitu terang, seterang tujuan kita kini. Kesempatan yang dating tentu tidak akan kita lewatkan. Kau sudah begitu jujur padaku, bagaimana aku bisa membenci dan bermusuh dneganmu. Mungkin kita saling membutuhkan dalam soal rasa ini. Dan aku, betapa bahagia sekaligus sedih mendnegar bagian-bagian dari peristiwamu yang aku tangkap intinya, betapa berarti dirimu untuknya.
Tetapi tahukah dirimu, bahwa bagiku kau justru lebih dan amat berarti? Tapi apa kini? Semua
“Sampai saat ini belum ada apa-apa.” Katamu. Tapi waktu? Siapa yang bisa menolak hadirnya.
Petang mengambang, gerimis jatuh dan kita mesti meninggalkan jalan-jalan yang kian ramai. Magrib menjelang di
Mungkinkah ini pulang kita yang terakhir? Aku selalu berharap begitu, tetapi alangkah sukar untuk sekedar berbenah dan meninggalkan rumah yang setahun ini kita akrabi benar lekuk-celahnya. Rumah yang mau tidak mau akan menjadi milik kita yang paling rahasia sebelum kita kembali ke jalan-jalan, mencari tempat berteduh, entah di dada siapa. Dan aku akan kembali menjadi pelabuhan. Pelabuhan yang kali ini –semoga– menerima dan melepas keberangkatan tanpa
Seperti lagu
Kini tibalah saatnya, kita akan berpisah
Pisah bukan selamanya, terserah pada masa.
Setiap keberangkatan akan menemukan pintu pulang. Aku percaya itu. Suatu waktu, kau pun akan merundukan pulang. Tentu saat-saat yang sedikit lebih gawat, saat rumah kita roboh dan aku terkapar endirian. Atau suatu ketika kita tak saling mengenal alamat pulang, tak ada yang kita milikki selain kenangan, tidak nomor hape, alamat rumah atau sedikit peta penunjuk arah.
Mungkin kau memang perlu merasakan sakit agar kau tahu apa rasanya ditinggalkan.
Tentu ini bukan doa, sayangku. Dan ini malam, sebutir obat tidur telah masuk ke perutku yang mulai kosong, lagu-lagu lembut dan aroma terapi telah pula kusediakan agar tidurku bisa lelap, agar mimpi buruk yang dua minggu belakangan ini bisa segera musnah dariku. Dan sebentar lagi aku akan melewati jalan ini, jalan yang berjarak beberapa ratus meter dari tempaku duduk sekarang. Kau menuju pulang, sendirian entah dengan seseorang.