Thursday, November 8, 2007

beberapa dokumentasi ketika di Padang

di Payakumbuh
Batusangkar
nah....
Romi Zaeman, di Jalan Padang-Padang Panjang. dan kabut

Di Batusangkar, di Rumah Pinto 'Khatib Marajo' Anugrah. di penggilingan Kopi. ada yang mau pingsan lo...
Di Kincir Air. Esha Tegar Putra, indrian Koto, Y. Thendra BP. dan Romi Zarman. Pinto mana ya?


Nah, itu Khotik Pinto di depaN kincirnya.

sajak Buat Mutia Sukma 2


Dongeng Sederhana sepasang pecinta
:ma

apalagi yang kau minta dari hidup ini, kekasih? semua serba rahasia, tinggal bagaimana kau mempercayainya. di musim hujan di mana jalanan basah, dan ingatan menampung seluruh masalalu. kesepian akan membalutmu

setiap petang. segala kerisauan itu, serahkanlah padaku. kita akan terus menapaki hidup yang melulu itu, pertengkaran sengit lalu berakhir dengan sedu. rambutmu yang meriapkan lumpur membuat aku takut kehilangan. di keningmu, tempat tanah basah itu aku menyimpan sejuta

rahasia yang kelak akan ditumbuhi tangkai-tangkai sajak. kupetik satu untukmu, penadah hujan yang sengit ini. tetaplah di sini, rekatkanlah tanganmu pada pinggangku agar rasa takut bisa berpindah. ketika dingin, abadikan tubuhmu pada pelukku. dan cinta tak menuntut apa-apa selain banyak kehilangan dan jejak hitam. di penghujung

petang, setiap musim apa pun kita selalu diburu cemas. kita masih saja melangkah, melawan dingin dan rasa haru. tak ada tempat berteduh. apa sesungguhnya rumah jika kita tak dapat menampung segala gaduh. ruang tidur tak cukup mampu memagut risau dan kecemasan. sedang kita, hanyalah dua orang manusia yang belum cukup dewasa yang memahami dunia satu-dua warna saja. dan

tanah yang kita duga tempat ari-ari leluhur pernah ditanam hanyalah praduga kosong saja. kau dilamun kerinduan pada leluhur, pada kesiur angin pantai, bibir maut yang cukup biadab. kau rindukan gunung tempat lumpur hitam bersarang. serupa matamu, negeri ini, tanah yang kita pijak, adalah tempat kematian dirayakan dengan berbagai ragam, atas hidup yang kita pahami begitu sederhana. hentikan tangismu kekasih, agar alam tak terus murung. negeri

leluhur tak lebih indah dari ini. yang berbeda hanya warna nasib saja. dan kita terlalu muda untuk memahami banyak hal. mengingat leluhur hanya menambah dendam saja. kadang aku mengutuk, untuk apa kampung halaman jika mayat pun tak bisa berpulang. sebab kematian mengangkang di mana pun kau berdiri. Di tiap simpang dan tikung jalan. bukankah berkali kuingatkan, tak ada lagi yang bisa kau percaya selain cinta yang kupunya. jika tak ada tempat berpulang aku ingin di sini saja. kauwakafkan

tubuhmu untuk kugarap kapan saja. tapi di sini tempat segala kerisauan bersarang apa yang bisa kutanam selain gamang dan rasa bimbang. hujan ini begitu deras sayang. dan kita masih berjalan, menduga-duga sebalik gunung sebagai negeri yang paling aman. apa lagi yang kau risaukan sayang jika memang hidup melulu kehilangan. kini, rapatkanlah tubuhmu ke bahuku agar kurasa dengus napasmu. selebihnya tak ada yang bisa kita lakukan selain percaya pada langit: kapan hujan akan selesai, kapan awan akan meregang. dan aku hanya bisa menghiburmu dengan

kebingungan yang tak bisa kusembunyikan. sebab dongeng-dongeng telah lama usai. dan kita tetaplah sepasang pecinta yang terlalu percaya pada kelembutan

dan rasa rindu. dunia yang semula begitu nyaman oleh haru dan kedamaian semata menipu untuk kita yang tak mengerti apa-apa. cup, apalagi yang kau risaukan selain cinta ini? sebab hujan bisa saja membinasakannya. cup!

rumahlebah, 2007

sajak-sajak Untuk Mutia Sukma 1

Hujan yang Tersesat

aku menggenggam tanganmu lagi
sebentuk usaha terakhir mempertahankan
diri dari kesakitan yang panjang. sebab hujan
akan turun dari tubuh kita, mula-mula.

mestinya hujan tak turun di sini
di musim kemarau yang terlambat pulang.
tapi dunia bukan hanya milik
kita yang hanya bisa berkata-kata.

juni, bantalku basah, sapardi.
aku terapung di ranjang yang menjelma
kolam renang. langit mendung, barusan
hujan istirah, barangkali ia capek
melarikan diri dari kerja main-main ini.

aku menggenggam tanganmu lagi,
serupa masa kanak yang tidak
memerlukan lambang dan tanda-tanda.
dunia hanyalah kepingan-kepingan lukakata
yang merapatkan diri sukarela.
malam serupa permainan kecil
memaksa kita masuk ke ranjang, ke bibir
rahim. usia melaju begitu jauh. tak ada
stasiun di sini. segalanya
melewati rel panjang menuju langit yang barangkali
segera runtuh. seperti tubuhku yang tenggelam
kian dalam. terbenam ke dasar hatimu.

“sukma, tubuh ini milikmu,” teriak seorang penyair
yang membenci hujan. tapi malam yang main-main
ini, hujan yang tersesat ini pecah di kepalanya
serupa dia, aku pun tak ada jika sukma
sudah tak ada.

aku menggenggam tanganmu, lagi
dan ingin lagi. aku perlu berjemur di halaman
sempit itu, di mana rumput-rumputnya
yang kembali hijau menantangku
untuk berlabuh. tapi sapardi telah
merontokkan segala rencana
bagi seorang pembenci hujan semacam aku
yang selalu basah tiba-tiba.

yogya, juni 2007