Wednesday, January 23, 2008

Catatan Pulang Kampung

Berapa Nomor Handhphonmu?

Tiga tahun enam bulan kemudian aku menuju pulang. Sungguh, aku merasa cemas. Apa yang kira-kira akan aku lakukan di kampung sepanjang kepulanganku ini? masihkah aku bisa melanjutkan obrolan di lapau kopi, mengulang peristiwa lampau, saat di mana aku masih bagian dari struktur masyarakat yang ada. Mempercakapkan lagi soal jenis motor terbaru, mengenal perempuan yang lewat sepanjang sore di depan rumah undo —markas kami, para anak muda? Masihkan aku bisa mengikuti percakapan verbal seputar orgen tunggal, gadis kampung tetangga yang menjadi pujaan hati para bujang, berisik cinta remaja dan mengingat peristiwa-peristiwa kecil lainnya? Kupikir waktu tidak pernah diam, kaku dan monoton. Sepanjang waktu ada saja peristiwa baru yang diciptakan.

Aku tahu, sebagian kawan-kawan seusia, maupun yang lebih tua, sudah menikah dan memiliki anak. Sebagian yang lain, para tetua kampung dan orang tua, sesepuh, sudah lebih dulu berkubur tanah. Apakah masih bisa aku bercakap perasaian dan peruntungan dengan mereka? Apakah aku masih akan sok tahu soal kisaran angin, laut yang mulai bergelombang besar, ramalan tentang gempa bumi dan laut pasang. Ataukah aku akan membincangkan dengan soal kapal dan perahu, biduk dan boat, ikan dan hasil laut? Atau soal perjalanan menegangkan mengadu nasib di Malaysia?

Perihal-perihal kecil dan sederhana sebenarnya. Tapi sungguh, ini membuat tubuhku menggigil juga. anak-anak beringsut tumbuh, yang kecil beranjak besar, yang remaja menuju masa yang lebih serius. Mereka yang dulu masih kanak, kelak akan berubah jadi pemuda gagah dan bisa jadi aku akan terbata menyebut nama mereka. Bukankah sepanjang tahun-tahun keberangkatanku, tak banyak kabar yang bisa kudapati soal kampung? Ini bukan tanah seberang, Malaysia, yang sepanjang hari, sepanjang minggu akan ada saja satu dua kawan yang datang dan pergi. Menjadi imigran gelap dan pulang kampung. Tentu mereka lebih beruntung, setidaknya mereka yang ada di Malaysia itu, akan selalu mendapat kabar baru dan tak sungguh-sungguh alpa dengan peristiwa apa pun juga. bahkan hal-hal remeh sekali pun.

Sebelum aku pergi, kampungku sudah bertahun-tahun menikmati cahaya listrik, setiap rumah nyaris memiliki tivi dan parabola. Lama kemudian mereka mulai memiliki digital, menggantikan parabola. Anak-anak muda menghafal lagu-lagu populer Indonesia dari VCD bajakan sefasih mereka mempercakapkan artis dan bintang sinetron. Generasi di bawahku tak lagi mengenal main kajai, main kelereng, main batun, main galah, main genggong dan sejenisnya. Mereka sudah mengenal play station. Lihat, di kampungku yang tersuruk di sepanjang Pesisir pantai Selatan Kota Padang, empat jam perjalanan dari pusat kota, mengetahui tiap inci perihal menghebohkan di luar sana. Mereka juga memodifikasi motor mereka, anak perempuan dan laki-laki mengikuti trend berpakaian, memakai farfum ala artis yang dijajakan di ruang tamu rumah mereka.

Jika kini aku pulang bukankah semakin banyak yang sudah berubah? Aku sudah lama tak mengirim surat ke kampung, barangkali aku lupa cara menuliskannya. Beberapa kali aku lebih sering berkomunikasi lewat handphond, pesan-pesan singkat yang tak terlalu masuk ke hal-hal yang sederhana.

Kupikir kampungku dengan budayanya yang manis dan ranum itu sudah lama bergeser. Kukira sejak kabel-kabel hitam itu melingkar jauh dari entah kampung mana menuju kampung mana pula. Kami, aku dan kawan-kawan seangkatan masih ingat, ketika tiang-tiang beton itu mulai berdiri di halaman rumah, peristiwa baru akan segera dimuali. Benar saja. Tak lama, kami tidak lagi menggunakan suluh atau obor sebagai penerang jalan ketika pulang mengaji. Cahaya listrik yang berkilau di setiap tiang cukup menerangkan jalan dan halaman rumah. Kami mulai meninggalkan permainan sederhana menjelang kantuk datang; bermain batun, main petak umpet atau kejar-kejaran di antara cahaya langit dan lampu minyak.

Sepanjang malam kami mulai ritual baru sehabis mengaji. Berjalan beberapa kilo ke Selatan untuk melihat aksi Yoko di film seri mandarin Return of The Condor Heroes. Saya mulai mengikuti seri-seri aksi Andi Lau yang memiliki sebelah tangan dan kisah cintanya yang rumit. Sepanjang jalan pulang kami akan menyanyikan thema song serial tersebut, sesekali menghapal jingle iklan-iklan yang ditayangkan. Serasa kami tidak jauh beda dengan anak-anak kota. Kami mengingat bermacam merk makanan ringan dan minuman. Mengetahui jenis bumbu dapur, mie instan mana yang lebih keren ketika dibeli.

Minggu adalah hari pasar. Jika waktu-waktu belakangan aku bisa melihat aksi Jason, Kimberly dan Jack dalam pertarungan mereka melawan Repulsa di salah satu rumah di tengah pasar. Tokoh-tokoh Power Rangers ini sudah kuhafal betul dari majalah Bobo bekas yang kubeli nyaris setiap minggu. Sekarang aku bisa menontonnya. Aih, rancak bana.

Biasanya di pasar kami akan melihat dan menemukan banyak makanan instan yang kami lihat di televisi. Memakannya, dengan gaya yang nyaris sama dengan apa yang dilakukan penjaja makanan di ruang tamu itu. Maka, untuk sebuah eksistensi, kami sering menyimpan bungkus makanan yang diiklankan dan membawanya ke sekolah untuk dipamerkan pada kawan-kawa. Biasanya akan ada saja yang bertanya, “enak tidak?” tentu ada yang dengan sinis meresponnya, sebentuk rasa iri, tentu saja.

Tetapi itu belasan tahun lalu. Dan waktu berpusing dnegan cepat. Aku tak pernah sanggup mengimbanginya.
***
Dari Yogya saya sudah menyiapkan kartu Telkomsel, sebentuk kekhawatiran kalau-kalau nanti di sana tak akan ada sinyal xl. Mengingat, baru beberapa kota-kota besar saja yang dilewati jaringan seluler itu. nitimbang yang lain, jelas Telkomsel memiliki jaringan hampir di tiap kecamatan provinsi. Setidaknya di kotak.

Aku mulai merasakan ada yang berubah sejak dari kota. Bukan hanya soal harga pulsa yang lebih besar 20% dibanding Yogya, tetapi untuk makan pun aku merasa agak aneh. Bayangkan, di Yogya untuk makan dengan daging, 5000 saja sudah cukup. Itu di rumah makan Padang. Tetapi di rahim sendiri, aku harus mengeluarkan uang 7000 untuk makan ikan laut.

Sepanjang jalan pulang aku mulai diliputi rasa khawatir, apa yang akan kulakukan sesampai di rumah? bagaimana respon keluarga besar dan kawan-kawan? Aku membandingkan kepulanganku dengan kawan-kawa yang lain, yang berangkat ke Malaysia. Tiap kali mereka pulang kampung akan ada saja ‘pesta’, sekedar bagi-bagi rokok dan membeli beberapa botol minuman. Sementara aku? Uangku sudah habis ketika sampai di Jambi. Aku sempat berfikir, apakah harus singgah di sini dulu, mencari pnjaman pada seorang kawan, Dimas, sastrawan senior di kota itu sembali berbincang soal fenomesa sastra di sana dan perihal acara kongres sastra yang akan berlangsung bulan Juli nanti di sana. Ah, tak usahlah. Berapa lagi ongkos yang aku butuhkan untuk naik bis lagi. Kalau pun sekarang uangku habis, yang paling penting hanya soal makan. Malam ini, kalau aku kuat puasa, saat itu memang ramahdan, tetapi di jalanan, di mana perutku tak tahan tanpa air putih dan obat mual, aku tak melaksanakan ibadah wajib tersebut.

Di Padang, aku sempat menginap dua malam. Kebetulan ada acara sastra di Unand, dan teman-teman sastra di sana, meminta aku dan seorang kawan yang ama-sama mudik untuk ikut acara mereka. Sekalian silaturahmi. Dan ongkos pulangpun akhirnya tak jadi soal.

Dari Padang ke kampungku, membutuhkan waktu sekitar empat jam perjalanan. Aku masih meduga-duga apa yag hendak kulakukan di rumah. dan memasuki perbatasan kabupaten, hpku kehilangan sinyal. Tuh, kan. Untunglah aku memiliki kartu cadangan.
***
An aku menemukan kampung yang sedang berbenah. Tidak ahanya Telkomsel, ternyata di kampungku juga berdiri tower Indosat dan Xl. Bayangkan, kecamatan kecil ini, yang jauh dari ibu kota, membentang dari selatan Kota Padang, juhuh jamlebih perjalanan, hanya di kecamatanku ada tiga tower dari tiga operator sekaligus. Bahkan di ibu kota kabupaten pun, hanya ada sinyal Telkomsel satu-satunya. Ada apa sebenarnya? Mengapa kecamatan kecil yang terdiri dari beberapa kenagian ini saja?

Aku memang menemukan sisa gempa di tiap sudut rmah. Retakan-retakan dinding, atap yang rubuh, pagar yang ambruk. Tetapi yang lebih dasyat, hampir setiap anak muda menenteng Hp, kokia jenis kotemporer yang aku tak paham. Di mana fasilitasnya selalu ada musik dan video. Oleh-oleh dan kiriman tanah seberang, tentu saja.

Ketakutanku terjawab juga, satu dua anak muda mulai bertanya lirih, “berapa nomor hapemu,Uda?” sekali dua mereka melirik soni ericsonku yang jelek itu dan berkata, “Ada lagunya, ndak?”

Inilah yang terjadi kemudian. Ternyata operator seluler pun paham, bahwa di daerahku yang kaya ini gaya hidp menjdi kepentingan utama. Dari dulu alah. Pola hidpu mereka sudah mapan dan matrealistis. Segala jenis motor ada. Vario dan Mio jadi identitas saat ini. Anak muda tidak keren tanpa itu.

Surantih, kecamatan yang memiliki hasil laut terbesar di kabupatenku, bahkan mungkin untuk Provinsi. Muara sungai di penuhi bagan penangkap ikan. Ikan teri dari kecamatan ini terkenl di provinsi tetangga, Pekanbaru, Riau. Bahkan juga di ekspor ke Singapura dan negara tetangga lainnya. Di luar itu, perebunan merupakan penghasilanyang tak juga sedikit. Mereka menaan sawit, nilam, jati, gambir, getah dan tanaman tua lainnya agar bisa dipanen sepanjang tahun. Ketika aku pulang kebaran ini, anak-anak muda memiliki penghasilan lebih dari 30 ribu perhari hasil panen gambir.

Gaya hidup yang tinggi dan kebergantungan mereka kepada modernitas yang tanpa saringan itu memiliki sisi yang berlawanan. Satu sisi kemapanan tradisi ala kampung dengan segala keluguannya. Sisi lainnya adalah padanan pada dunia luar yang negatif. Dunia mereka adalah dunia selebritas, dunia infotaimant.

“DI Yogya ketemu Sheila on 7 Ndak? Pernah liat konser Ungu?” Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku tersentak. Betapa dunia rasanya terasa sangat pendek rentangan jaraknya. Menreka mengikuti dunia hiburan dnegan antusias yang luar biasa. “Kami pernah nonton Peter Pan di bandara Tabing. Masa di Yogya ndak pernah nonton konser? Payah.” Kata mereka. Benarkah aku yang payah? Aduh, aduh.

Kembali ke Hp. Ini menjadi penting karena status di hadapan masyarakat dan kawan-kawan seusia. Kulihat, betapa mereka amat puas ketika menenteng handphond, headphone di telinga. Dnegan kaca mata hitam, ala Radja penyanyi band menjengkelkan itu, merka bergaya di pinggir jalan. Di hadapan kawan-kawan. Belum lagi gaya rambut yang mengikuti trend anak band. Membuat jurang antara yang mampu dan tak berdaya begitu terbuka dengan jelas.

“Hampir di tiap Hp memiliki fasilitas Video. Mereka mengambil (downloud, maksudnya) di counter. Satu lagi biasanya 1500 ratus. Tergantung hubungan dnegan merekalah. Untuk film porno pendek biasanya 2500.” Kata seorang rekan yng sudha berkeluarga memamerkan film-film pornonya padaku di pos ronda. Sekelompok anak muda berkumpul di belakangnya.
“Mereka punya yang begituan juga?”

“Iya dong. Tiap bulan ada film-film baru. Memang pendek sih, Cuma pas untuk ukuran henpon. Yang laku tuh, film-film Indonesia. Mereka bikin pelem gituan juga ya? Eh, kau sering liat di internet juga ya? Bagus-bagus nggak. Banyak pelem pornonya ya diinternet. Kalau aku ke Yogya ajak ya? Katanya bisa nonton di sana.”

Aha, aku tahu itu. di Yogya, aku sudah muak menonton bokep. Di warnet-warnet berjamuran film-film porno ala Indonesia yang diambil dari rekaman pribadi itu. tapi di sini juga bisa menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Aduh, aduh.

Aku terpaksa lebih sering menyembuyikan henpon dan diriku di dalam rumah. bukan malu. Cuma aku selalu kaget dengan pertanyaan-pertanyaan yang makin memuatku sulit menjawabnya. Bagaimana kebudayaan barat masuk ke kampungku yang polos ini? Mereka dan tentu juga aku adalah korban. Korban dari sistem yang dijajakan sampai ke ruang privat.

Dan sepanjang malam, sejak masa berbuka, anak-anak muda lebih banyak duduk di pos ronda, atau berhamburan denfgan berbagai jenis sepeda motor mereka – segala merk ada. Yang lain, sepertiku, dengan sedikit malas terpaksa melangkah ke masjid. Lalu sehabis taraweh, dengarlah Nidji, Kangen Band, Ungu, Matta Band, Letto mengalun lancar di mulut mereka. Sefasih kami mengeja kitab suci ketika aku kanak dulu.

“Hei, kamu punya hape juga kan? Aku liat dong. Nokia tipe berapa? Di Yogya harganya berapa, ya? Aku ingin sekali punya.” Aku tak tahu itu keluar dari mulut siapa lagi. Malam terlalu memabukkan untukku, berbaur dnegan kerinduanku pada gadisku di seberang pulau. Dan malam ini aku tergagap melangkah pulang, jalanan yang kecil dnegan genangan air di pinggirnya ramai oleh kendaraan yang hilir mudik. Aku menginjak selokan becek, sisa hujan barusan. Dan meraba-raba arah di jalan lintas selatan yang gelap dan suram.

Lebaran ini, di kampungku giliran siapakah yang akan masuk ruah sakit karena kecelakaan? Cepat-cepat kuusir pikiran konyolku dan sebait lagu mengalir dari berisik suara gitar dan teriakan kawan-kawan yang mabuk, “Tapi, kamu kok selingkuh…”

Aku ingin tidur saja dan malas keluar rumah.

Januari 2008