Saturday, December 29, 2007

Sepenggal waktu yang sisa

jika memang ada yang baru, maka kuucapkan juga padamu,s elamat tahun baru.

tapi, sungguh aku tak yakin dengan diriku sendiri.

Friday, December 21, 2007

Gumaman Ujung Tahun


Malam Idul Adha

hujan jatuh di sebelahku

sebelahnya lagi sepi bernyanyi

dingin menyusup dalam dadaku

inilah gerhana jiwa

letupan hati yang peling sempurna

ada payung

yang tak satu pun bisa kukenal betul warnanya

tanah basah yang aromanya

bagai tawa manis kekasih

lalu meninggalkanku diam-diam

(Sebuah Hujan)

Selalu, di waktu-waktu special dan intim, aku merasa sendirian. Ini malam, 19 Desember 2007. besok orang-oramng merayakan Idul Adha. Aku mendengar gema takbir berkumandang, aku merasa kian sendirian.

Beginilah mula-mula. Aku sendirian, berhitung dnegan kemiskinan dan rasa sakit. Tak banyak yang kuinginkan dalam hidupku awalnya. Sederhana saja, setiap kali bangun, aku memiliki sebatang rokok dan beberapa receh untuk mengganjal perut. Aku tak terlalu manja sebenarnya. Aku tak perlu jadwal dan rencana. Ketika aku menginginkan sesuatu dan aku mampu maka segalanya berjalan dnegan sederhana.

Tapi segalanya berubah setelah aku bertemu kau.

Aku tak akan menuliskan banyak hal di sini. Aku memulai sesuatu dari awal. Meyakini seseorang, mempercayai sikap dan kata-katanya, mulai mengenal jadwal dan mandi pagi, potong kumis dan hal-hal sederhana yang dulu terlupakan.

Aku terbiasa dan mulai takut kehilanganmu.

Barangkali kita, bermula dari kesakitan orang lain. Kupikir keindahan hanya diciptakan untuk kita. Satu sama lain, sepanjang waktu saling membutuhkan. Dan orang-orang mulai meninggalkan kita satu-satu. Kupikir, jika bersamamu aku merasa lebih bahagia, mengapa aku harus menangisi kehilangan lagi?

Apa yang kekal di dunia ini? Juga dirimu. Berlahan aku merasa, kita semakin jauh. Memang, sepanjang hari kita selalu bersama, selalu ada. Tetapi betapa rasanya ada yang lain kini. Tentu ini bukan yang pertama, tapi kupikir ini yang terakhir. Kau pelan-pelan menjauh dariku dan melewatkan hari-hari special tidak denganku. Dan selalu, sepanjang hari-hari special itu, aku kehilangan kau.

Apakah yang sedikit dans empit ini harus dibagi pada yang lain? Dan aku semakin paham (tapi tak sungguh mampu meyakinkan diri) bahwa kau tak akan pernah pulang lagi, mengetuk pintuku dan menghambur masuk dalam pelukku. “Hujan terlalu deras saying, aku basah.”

Tak. Kupikir, rasanya terlalu banyak hal-hal manis yang tak lagi kau dpatkan dariku. Mungkin kita perlu belajar menghargai. Sementara ini, aku tak bisa lepas darimu sekaligus ingin lari darimu. Aku menyayangi sekaligus membencimu sepenuh hati. Mungkin aku menyayangimu dengan segenap diriku dan membencimu dengan sepenuh hatiku.

Bagiku, memilikimu adalah memiliki dunia ini.

Besok tak ada yang bisa kukorbankan. Hanya dirimu milikku sati-satunya. Tapi kupikir, malam ini aku telah menyiapkan ‘pengorbanan’ yang paling besar dalam hidupku. Dan aku mencintaimu. Aku akan mengorbankan hatiku untuk kebahagiaanmu. Mengorbankan dirimu untuk kebahagiaanmu. Hanya dirimu yang kupunya dan inilah yang harus kuberikan sekarang juga.

Aku tahu, aku akan kehilangan seluruhnya dan tak begitu saja bisa melepasmu. Tapi kupikir waktu akan berdamai juga dengan kita. Dan aku akan merasa (kelak) betapa damainya mendengar takbiran sendirian.

Kepadamu dan seluruh manusia yang mengenalku dan yang aku kenal, aku ingin berkata, “terimalah pengorbananku ini…

Kepada kalian yang sempat mengenaliku

Padamulah sajak ini kutuliskan

Agar tunai utang janjiku

Kepada kalian yang sempat kusakiti

Kutasbihkan tubuh ini untuk seluruh kebencian

Agar kelak tak ada yang mengenang kebaikan

Yang belum pernah kuperbuat

Kepada kalian yang sempat membenciku

Kupercayakan takdirku atasmu

Agar kelak aku tak melulu hitam-putih

Kesadaranku masih penuh

Kadang, untuk sebuah kejahatan tak ada

Yang pernah meniatkan. Dan kejahatan tercipta

Ketika kau merasa menjadi korban.

Kepada kalian yang sempat merasa dendam

Kuyakini dengan segala kesungguhan

Kaulah malaikat itu yang menentukan arah hidupku

Kepada kalian, kurasa tak perlu maaf

Dengan demikian impaslah kita

Dan kalian tak perlu membayar atas pelajaran

Sederhana ini; tak akan ada yang mengulang

Kejahatan yang sempat kuciptakan.

2007

(Sajak Kepada Semua Orang)”

Saturday, December 15, 2007

Penggalan terakhir kisah kami


Catatan Sebelum Hujan Turun

Sepertinya banyak rencana-rencana kita yang batal. Mungkin saya tidak akan pernah sempat menikmati Kopi Joss di Tugu sana. Mungkin saya tidak akan pernah mencoba makan angkringan di jalan Timoho. Atau barangkali aku tak akan pernah menjejakkan kaki dan mencicipi makanan di Taman Kuliner. Menjilat lelehan kopi coklat di Toga Mas. Menikmati kecipak sungai –yang barangkali akan deras di musim hujan ini– sambil menikmati susu hangat di Kopi Plus.

Banyak rencana kita yang batal. Bukan musim hujan ini yang menghancurkan keinginan. Bukan. Kita mungkin tak akan pernah menikmati sore di Patehan, memandang Alun-alun Kidul yang ramai dan berisik suara-suara, kita mungkin tak akan pernah lagi menikmati makan dari kedai Laris yang nasinya menggunung itu, atau jus mangganya. Mungkin aku tak akan pernah berkunjung ke Goeboex lagi untuk menikmati secangkir kopi dan berceloteh banyak hal.

Kita mungkin tak akan benar-benar pernah lagi ke Bantul, memasuki rumah impian, seperti dulu. Melewati jembatan goyang, atau bersandar di batu-batu sambil menatap lembah di balik rerimbunan semak di areal perumahan di bukit berkapur itu. Atau, mungkin kita tidak akan akan pernah lagi ke Sewon, mengajak Tsabit keluar atau sekedar mengantarkan oleh-oleh buat amak.

Aku mungkin tak akan pernah lagi duduk di Garden, mengirim tulisan di warnet kampusmu, sambil menunggumu selesai kuliah. Kita tak akan pernah betul-betul jadi memancing dan menyantap hasil pancingan kita.

Kita mungkin… ah, kalau pun kau akan ke sana, menikmati suasana yang dulu itu, tentu saja kau tidaks edang bersamaku. Dan aku, kalau pun suatu waktu punya keberanian memasuki tempat-tempat yang kukenal dan tak kukenal itu, tentu akan menjadi rahasiaku saja. Pada siapa lagi aku bercerita jika bukan padamu?

Pasti, aku akan merindukan saat-saat di mana kau dating dengan kejutan-kejutan kecilmu\. Tentu aku akan merindukan saat-saat di mana kau menyandarkan kepalamu di bahu bungkukku. Atau ketika kau yang tak tahan untuk tak berbaring di pelukanku. Saat kita mempertengkarkan sesuatu, saat kita saling marah dan ngambeg, saat di mana kau dating dan mengajakku makan, saat di mana kau begitu peduli kepadaku. Aku akan merindukan matamu yang basah, merindukan tawamu yang riang, atau kebiasaan unikmu, kentut dan menudingku. Aku akan merindukan bongkahan asap rokok keluar dari mulutmu. Aku selalu akan merindukan wajah letihmu. Saat-saat manjamu, saat kita di suatu tempat. Saat..

Aku akan selalu merindukan itu. Mungkin sesekali kau juga akan mengingat hal yang sama.

“Kita harus saling melupakan.” Begitulah kalimatmu akhirnya. Kata-kata yang sudah beberapa kali sempat kau ucapkan. Kau tahu, utuk melakukannya, kurasa kita akan sama-sama kesulitan. Tetapi apalagi, setelah kita sama-sama sakit, setelah tidurku yang tak akan pernah bisa nyenyak ini. Kau benar, barangkali, inilah jalan satu-satunya. Kau tak bisa meninggalkan orang lain dan lingkungan yang selalu memberimu tempat ternyaman. Mungkin lebih baik kau kehilangan yang satu ini ketimbang kau kehilangan banyak.

Aku mencintaimu. Aku ingin memberi yag baik buatmu. Jika itu adalah membikin jarak dneganku, apa boleh buat? Aku tak tahan didustai dank au tak bisa dicurigai. Kita sama-sama keras kepala dan egois. Aku selalu merasa bodoh dan gampang tertipu ketika kau berbohong padaku. Kau merasa terancam dan diteror tiap kali aku curiga padamu. Apa boleh buat, kita sama-sama memiliki satu hal yang berbeda. Aku tak suka dibohongi, kau tak suka dicurigai. Dan kau tak bisa meninggalkan apa pun untukku. Tentu lebih ringan kehilangan satu ketimbang yang banyak itu.

Tapi bagiku, kehilanganmu adalah kehilangan segalanya. Kupikir kau juga sesekali merasa butuh.

Tapi begitulah hidup. Aku cengeng dan kau begitu tegas. Kupikir segalanya akan baik-baik saja. Ternyata kau mengingat lebih banyak kekuranganku ketimbang kelebihanku. Jadi maafkan aku.

Mungkin saja kita suatu waktu sedang menatap hujan yang sama, di tempat yang berbeda dnegan rasa yang lain pula. Sebab aku begitu mencintai hujan dan selalu ingin masuk di dalamnya. Sednagkau menyukai hujan sebentuk perayaan. Jangan-jangan bersamaku kau seperti sedan menimkmati hujan dan tak berniat masuk ke dalamku?

Aku menyayangimu. Maka aku harus merelakanmu pergi. Sebab kita tak bisa hidup melulu dalam sakit dan sakit. dan kau lebih memilih melupakan semua perihal tentang kita. melupakan hal-hal yang pernah kita lewati, hal-hal yang belum sempat kita lakukan, hal-hal yang masih menjadi impian, hal-hal yang barangkali belum tercatat.

tahun baru ini, seperti tahun-tahun lalu. aku sendiri dengan seluruh kerelaan yang kumiliki.

14 Desember 2007

Wednesday, December 5, 2007

Catatan Singkat


Dongeng Kehilangan

Selasa, 4 Desember 2007

Akhirnya aku mulai membencimu

Membencimu sebagai masalalu yang terlalu singkat

Kesendirian adalah kawan yang paling karib

Kurasa mulai saat ini aku tak lagi memiliki apa-apa. Sepeninggalmu, kurasa aku sudah habis. Aku tahu, waktu akan bergerak seperti biasa, dengan rutinitas yang sama. Matahari akan selalu terbit di Timur dan tenggelam di Barat.

Tetapi kehilangan adalah sebuah peristiwa lain. Kau patut merayakannya.

Segalanya penuh kejutan dan serba rahasia. Aku mengenalmu dan kita akrab dengan cepat dan menggarap peristiwa buru-buru. 24 Oktober saat itu, lebaran ke dua tahun 2006, aku merasa memiliki sebuah tanggung jawab setelahnya. Dan jika kemudian, hari ini semuanya selesai – sebenarnya sejak sebulan yang lalu – aku harus belajar menerima dengan nikmat yang sama. Apa sih yang lebih dekat dengan kita selain sakit?

Kurasa kepedihan ini adalah milik kita. Kau juga merasakannya, mungkin menikmatinya dnegan cara yang lain. Setidaknya, sepeninggalku, kau memiliki kawan berbagi. Dan aku? Tapi kita tidak perlu saling menyalahkan waktu yang berpendar setahun ini bukan?

Maka, jika ada salah, satu-satunya yang bisa kita lakukan tentu saja belajar memaafkan. Selebihnya kau akan menggarap peristiwa lain, dan aku dengan pelan tentu akan belajar melangkah pula.

Betapa takut aku dnegan keberangkatan. Sebab itu pula, aku malas mengagarap kenangan dengan sia pun. Aku malas memulai hubungan dnegan orang-orang baru. Merteka hanya akan menggoreskan peristiwa dan tanpa rasa bersalah akan pergi sejauh-jauhnya.

Kau benar, setelah kehilangan barulah kita mengerti apa makna kehadiran bagi kita. Aku, misalnya dua minggu terakhir dihadapkan pada mimpi buruk tentang kau dan dia. Sungguh, malam-malam begitu menyiksa. Aku tak sepenuhnya bisa tidur. Telah lebih dulu bayangmu kuusir, tapi ia hadir dalam wujud lain. Aku berharap, jika di dunia nyata kita memang harus sama-sama sakit, dalam mimpi auks edikit bisa berdamai dnegan dirimu. Tapi tidak. Aku takut mimpi-mimpi itu menjadi nyata. Kau dan dia, sungguh saat ini aku belum bisa menerima.

Aku mencemburui segala hal yang kauciptakan dnegan orang lain. Maka setiap pertemuan kita selalu diisi dengan pertengkaran sengit. Kita sama-sama keras kepala. Kau tak merasa bersalah dan aku merasa kau masih saja milikku. Dan setelahnya kita hanya saling berpeluk dengan rasa yang lain.

Aku pun belum sepenuhnya bisa menerimamu sebagai teman atau saudara. Terlalu cepat pergantian ini. Aku tak siap.

Tapi sejak kini, setelah pertengkaranm singkat tadi pagi, setelah surat-surat tak terbalas, segala keinginan tak terpenuhi dnegan seluruh hatai aku melepasmu. Semoga aku kuat untuk mengatakan “tidak” untuk setiap ajakanmu, semoga aku bisa jauh-jauhdarimu, membiarkan kebahagiaan menjalar di seluruh dirimu.

Aku tak pernah inginkan dirimu jadi bayang-bayangku. Tak terniat olehku. Siapalah aku diantara keramaian dunia ini? Tapi bagimu ini menyiksa dan kita tak akan bisa hidup karenanya. Bagaimana kita bisa menjalinm peristiwa lain jika kau menganggap aku musuh yang diam-diam menerkammu? Bagaimana aku bisa menerima jika kau pikir aku orang yang diam-diam menghancurkan hidupmu?

Aku mencintaimu maka aku harus emlepaskan dirimu.

Sebuah cerita Murung

Akhirnya, kau mau jujur juga padaku, bercerita tentang banyak hal yang selama ini begitu gelap untuk kita. Persoalan yang melulu itu; rahasiamu dan kecurigaanmu. Tanpa kutulis di sini pun, aku akan ingat setiap detail ceritamu, bagaimana kau bercerita, emosi dan getaran suaramu bahkan tanpa melihat pun, aku bisa merasakan mimic wajahmu. Kau memilih bahasa yang agak hati-hati, mengulang beberapa bagian dengan sangat cermat. Dan aku sengaja melambankan laju kendaraan agar ceritamu selesai sebelum kita sampai di tujuan.

Segalanya telah begitu terang, seterang tujuan kita kini. Kesempatan yang dating tentu tidak akan kita lewatkan. Kau sudah begitu jujur padaku, bagaimana aku bisa membenci dan bermusuh dneganmu. Mungkin kita saling membutuhkan dalam soal rasa ini. Dan aku, betapa bahagia sekaligus sedih mendnegar bagian-bagian dari peristiwamu yang aku tangkap intinya, betapa berarti dirimu untuknya.

Tetapi tahukah dirimu, bahwa bagiku kau justru lebih dan amat berarti? Tapi apa kini? Semua orang selalu menginginkan peristiwa baru. Peristiwa kita begitu usang, begitu sumbing dan tak lagi mendebarkan.

“Sampai saat ini belum ada apa-apa.” Katamu. Tapi waktu? Siapa yang bisa menolak hadirnya.

Petang mengambang, gerimis jatuh dan kita mesti meninggalkan jalan-jalan yang kian ramai. Magrib menjelang di Taman Siswa dan kita harus segera pulang dan belajar agar lebih dekat dnegannya. Pulang.

Mungkinkah ini pulang kita yang terakhir? Aku selalu berharap begitu, tetapi alangkah sukar untuk sekedar berbenah dan meninggalkan rumah yang setahun ini kita akrabi benar lekuk-celahnya. Rumah yang mau tidak mau akan menjadi milik kita yang paling rahasia sebelum kita kembali ke jalan-jalan, mencari tempat berteduh, entah di dada siapa. Dan aku akan kembali menjadi pelabuhan. Pelabuhan yang kali ini –semoga– menerima dan melepas keberangkatan tanpa berniat menjadi kapal.

Seperti lagu kanak kita di sekolah dulu, aku ingin bernyanyi kecil untukmu;

Kini tibalah saatnya, kita akan berpisah

Pisah bukan selamanya, terserah pada masa.

Setiap keberangkatan akan menemukan pintu pulang. Aku percaya itu. Suatu waktu, kau pun akan merundukan pulang. Tentu saat-saat yang sedikit lebih gawat, saat rumah kita roboh dan aku terkapar endirian. Atau suatu ketika kita tak saling mengenal alamat pulang, tak ada yang kita milikki selain kenangan, tidak nomor hape, alamat rumah atau sedikit peta penunjuk arah.

Mungkin kau memang perlu merasakan sakit agar kau tahu apa rasanya ditinggalkan.

Tentu ini bukan doa, sayangku. Dan ini malam, sebutir obat tidur telah masuk ke perutku yang mulai kosong, lagu-lagu lembut dan aroma terapi telah pula kusediakan agar tidurku bisa lelap, agar mimpi buruk yang dua minggu belakangan ini bisa segera musnah dariku. Dan sebentar lagi aku akan melewati jalan ini, jalan yang berjarak beberapa ratus meter dari tempaku duduk sekarang. Kau menuju pulang, sendirian entah dengan seseorang.

Tuesday, November 27, 2007

Saaat kritis



Sebuah Jalan

aku tahu, aku akan tersesat lagi
seperti tahun-tahun aku belum mengenalmu
jalanan tampak sama dan aku
tak terbiasa mengingat banyak nama

di jalan ini aku mengenalmu
di jalan ini pula kau belajar meninggalkan
aku menyadari dari awal
setiap kali kehilangan, setiap kali menemukan
tetapi, aku mendapatkan kesedihan di sini
bahkan untuk diriku sendiri
aku terus bergantung padamu

betapa aku takut sendirian
sebab telah banyak aku kehilangan
di setiap simpang, di setiap belokan
di mana jalan-jalan bercabang
aku selalu gemetar dan ketakutan.
kau dan mereka sama saja
menggoreskan sedikit kenangan
pada tubuhku lalu berebut saling menjauh

di kota yang ramai ini
orang-orang hibuk dengan nasib sendiri
tapi aku tak ingin menangis lagi
mengingat kepedihan yang aku-kau goreskan
pada tubuh masing-masing

di sana, di jalanan lain, aku tahu
orang-orang menyambutmu dengan riang
kalau pun aku sampai menyusulmu
–meski aku tahu, di kota ini, di tengah keramaian ini
selalu ada tempat bertanya
aku sudah tak mendapatkan apa-apa
mungkin kata-kata sakit yang bisa kita ingat
sebentuk kekejamanku padamu

aku tahu, aku tersesat lagi
seperti tahun-tahun aku belum mengenalmu
di kota ini, di tempat baru, aku tak
mengenal apa pun dan tak berkehendak
mengenal apa pun. aku tahu, waktu
ini akan tiba, akan segera tiba.
dan aku sudah lama menyiapkan
kemungkinannya. tapi selalu saja, tak
ada yang siap ketika kita sampai di persimpangan

aku takut tersesat, dan tak akan
menemukan jalanmu. jalan ramai
di mana aku merasa begitu kecil dan sendirian

november 07

Saturday, November 10, 2007

Amakku, si "adek" Vikra, Monika mana ya??
Abak, lamunanmu, membuatku nyeri...

Belajar Kehilangan



Setiap kali kau menemukan
Adalah juga kehilangan


Kupikir, apa yang kumiliki selama ini tak akan pernah habis untuk kumiliki. Aku berpikir segala yang aku punya tak akan pernah lagi lepas dariku.


Tiba-tiba aku merasa begitu tolol. Aku merasa sudah memiliki dunia ini dengan kesederhaan hidupku. Tak banyak yang kuambil dari dunia ini sebenarnya, secuil saja, selebihnya, bagian besar itu, kuserahkan pada orang lain untuk dimiliki mereka. Mereka butuh hidup yang lebih dariku. Sebagai balasannya, dunia mengambil banyak dariku. Semua, sampai-sampai aku tak memiliki apa pun lagi. Bahkan untuk sekedar menyaksikan milikku yang tiba-tiba bukan milikku lagi.


Bahkan untuk memiliki diriku sendiri, betapa aku sudah tak mampu.


Mengapa selalu ada yang pergi? Mati, itu barangkali mula-mula, sebentuk takdir manusia. Atau mungki ketika Adam dan Hawa dilemparkan dari surga? Ini warisan kesedihan. Meninggalkan dan ditinggalkan.


Manakah yang lebih sakit, meninggalkan atau ditinggalkan?


Setiap kali aku meninggalkan apa pun yang aku miliki, aku merasa kehilangan. Aku merasa ditinggalkan sekaligus. Tapi, mengapa ada yang pergi dnegan ringan hati, tanpa menoleh lagi ke belakang? Kurasa merekalah ksatria. Melepas segala kenangan dan peristiwa di belakang. Mereka mungkin menyadari, bahwa hidup berjalan ke depan. Tapi aku, oleh keberangkatan-keberangkatan, tak pernah menjadikannya matang. Aku selalu kanak setiap kali ada yang hilang, setiap kali ada yang pergi.


Betapa aku tak pernah didewasakan oleh keberangkatan yang membelitku sepanjang usia. Selalu ada yang pergi, meski ada yang dating, tapi betapa tidak sebanding antara keduanya itu, hingga aku nyaris tak memiliki apa-apa lagi saat ini. juga diriku sendiri.


Bagiku, meninggalkan sama seperti melepas keberangkatan. Sama-sama merasa kehilangan.

Thursday, November 8, 2007

beberapa dokumentasi ketika di Padang

di Payakumbuh
Batusangkar
nah....
Romi Zaeman, di Jalan Padang-Padang Panjang. dan kabut

Di Batusangkar, di Rumah Pinto 'Khatib Marajo' Anugrah. di penggilingan Kopi. ada yang mau pingsan lo...
Di Kincir Air. Esha Tegar Putra, indrian Koto, Y. Thendra BP. dan Romi Zarman. Pinto mana ya?


Nah, itu Khotik Pinto di depaN kincirnya.

sajak Buat Mutia Sukma 2


Dongeng Sederhana sepasang pecinta
:ma

apalagi yang kau minta dari hidup ini, kekasih? semua serba rahasia, tinggal bagaimana kau mempercayainya. di musim hujan di mana jalanan basah, dan ingatan menampung seluruh masalalu. kesepian akan membalutmu

setiap petang. segala kerisauan itu, serahkanlah padaku. kita akan terus menapaki hidup yang melulu itu, pertengkaran sengit lalu berakhir dengan sedu. rambutmu yang meriapkan lumpur membuat aku takut kehilangan. di keningmu, tempat tanah basah itu aku menyimpan sejuta

rahasia yang kelak akan ditumbuhi tangkai-tangkai sajak. kupetik satu untukmu, penadah hujan yang sengit ini. tetaplah di sini, rekatkanlah tanganmu pada pinggangku agar rasa takut bisa berpindah. ketika dingin, abadikan tubuhmu pada pelukku. dan cinta tak menuntut apa-apa selain banyak kehilangan dan jejak hitam. di penghujung

petang, setiap musim apa pun kita selalu diburu cemas. kita masih saja melangkah, melawan dingin dan rasa haru. tak ada tempat berteduh. apa sesungguhnya rumah jika kita tak dapat menampung segala gaduh. ruang tidur tak cukup mampu memagut risau dan kecemasan. sedang kita, hanyalah dua orang manusia yang belum cukup dewasa yang memahami dunia satu-dua warna saja. dan

tanah yang kita duga tempat ari-ari leluhur pernah ditanam hanyalah praduga kosong saja. kau dilamun kerinduan pada leluhur, pada kesiur angin pantai, bibir maut yang cukup biadab. kau rindukan gunung tempat lumpur hitam bersarang. serupa matamu, negeri ini, tanah yang kita pijak, adalah tempat kematian dirayakan dengan berbagai ragam, atas hidup yang kita pahami begitu sederhana. hentikan tangismu kekasih, agar alam tak terus murung. negeri

leluhur tak lebih indah dari ini. yang berbeda hanya warna nasib saja. dan kita terlalu muda untuk memahami banyak hal. mengingat leluhur hanya menambah dendam saja. kadang aku mengutuk, untuk apa kampung halaman jika mayat pun tak bisa berpulang. sebab kematian mengangkang di mana pun kau berdiri. Di tiap simpang dan tikung jalan. bukankah berkali kuingatkan, tak ada lagi yang bisa kau percaya selain cinta yang kupunya. jika tak ada tempat berpulang aku ingin di sini saja. kauwakafkan

tubuhmu untuk kugarap kapan saja. tapi di sini tempat segala kerisauan bersarang apa yang bisa kutanam selain gamang dan rasa bimbang. hujan ini begitu deras sayang. dan kita masih berjalan, menduga-duga sebalik gunung sebagai negeri yang paling aman. apa lagi yang kau risaukan sayang jika memang hidup melulu kehilangan. kini, rapatkanlah tubuhmu ke bahuku agar kurasa dengus napasmu. selebihnya tak ada yang bisa kita lakukan selain percaya pada langit: kapan hujan akan selesai, kapan awan akan meregang. dan aku hanya bisa menghiburmu dengan

kebingungan yang tak bisa kusembunyikan. sebab dongeng-dongeng telah lama usai. dan kita tetaplah sepasang pecinta yang terlalu percaya pada kelembutan

dan rasa rindu. dunia yang semula begitu nyaman oleh haru dan kedamaian semata menipu untuk kita yang tak mengerti apa-apa. cup, apalagi yang kau risaukan selain cinta ini? sebab hujan bisa saja membinasakannya. cup!

rumahlebah, 2007

sajak-sajak Untuk Mutia Sukma 1

Hujan yang Tersesat

aku menggenggam tanganmu lagi
sebentuk usaha terakhir mempertahankan
diri dari kesakitan yang panjang. sebab hujan
akan turun dari tubuh kita, mula-mula.

mestinya hujan tak turun di sini
di musim kemarau yang terlambat pulang.
tapi dunia bukan hanya milik
kita yang hanya bisa berkata-kata.

juni, bantalku basah, sapardi.
aku terapung di ranjang yang menjelma
kolam renang. langit mendung, barusan
hujan istirah, barangkali ia capek
melarikan diri dari kerja main-main ini.

aku menggenggam tanganmu lagi,
serupa masa kanak yang tidak
memerlukan lambang dan tanda-tanda.
dunia hanyalah kepingan-kepingan lukakata
yang merapatkan diri sukarela.
malam serupa permainan kecil
memaksa kita masuk ke ranjang, ke bibir
rahim. usia melaju begitu jauh. tak ada
stasiun di sini. segalanya
melewati rel panjang menuju langit yang barangkali
segera runtuh. seperti tubuhku yang tenggelam
kian dalam. terbenam ke dasar hatimu.

“sukma, tubuh ini milikmu,” teriak seorang penyair
yang membenci hujan. tapi malam yang main-main
ini, hujan yang tersesat ini pecah di kepalanya
serupa dia, aku pun tak ada jika sukma
sudah tak ada.

aku menggenggam tanganmu, lagi
dan ingin lagi. aku perlu berjemur di halaman
sempit itu, di mana rumput-rumputnya
yang kembali hijau menantangku
untuk berlabuh. tapi sapardi telah
merontokkan segala rencana
bagi seorang pembenci hujan semacam aku
yang selalu basah tiba-tiba.

yogya, juni 2007

Tuesday, November 6, 2007

semua, maafkanlah aku


dek, inilah koto yang sukma kenal itu.

tak ada yang manis yang akan kau kenang dek. sama sekali tak ada. apa yang baik yang bisa dikenang olehmu sukma? setelah setahun, setelah semuanya genap kita lakukan.

jika ini terjadi, mungkin inilah takdir kita. semoga sama-sama ada pelajaran bagi kita.

dan kita selalu ingin, peristiwa berakhir dnegan baik bukan?

dan kita juga

Pada akhirnya

inilah, pada akhirnya aku harus pergi darimu, ma. sebuah keputusan yang akhirnya mau tidak mau harus kita sepakati. aku pergi dengan meninggalkan seluruh cinta yang kumiliki. tak ada yang kuambil selain tubuhku. dan kau terus saja tumbuh di diriku.

ajarkan aku cara melupakan. ajarkan aku melepas seluruh keperihan.

tak sesiapa yang bisa kita salahkan. tak sesiapa. mungkin waktu

dan kini, setelah setahun itu...

Friday, September 21, 2007

Ramadhan, Kemiskinan yang Berulang

Ramadhan, Kemiskinan yang Berulang

Entahlah, aku mulai merasa kemiskinan bermain-main di sekitarku setiap kali nulan puasa. Sejak puasa tahun lalu, di mana saya harus menggantungkan hidup pada kawan-kawan. Lama-lama saya merasa malu juga. Dan mulai berbuka dnegan segelas air putih dan sahur dengan menu yang sama.
Beruntunglah waktu itu aku bertemu dengan beberapa kawan baru yang selalu dating pada waktu-waktu tertentu. Sukma misalnya, ketika perutku sudah tidak kuat lagi menahan lilitan maag, entah bagaimana caranya dia muncul dan menawarkan aku sebungkus nasi. Begitu juga yang lain, Ridwan, Ucup, Fahmi, Ira dan yang lainnya. Sesekali, aku ke Piyungan ke rumah Mahwi, sekedar menumpang berbuka dan sahur.
Sepertinya peristiwa ini sedang berulang padaku. Jika tahun lalu, kami bergerombol, sehingga kemiskinan tidak terasa begitu mencengramku, ramadhan tahun ini aku akan sendirian.
Aku merasakan itu kini. Kesendirian akan menelanku mentah-mentah. Aku memiliki banyak kesalahan di mata sebagian orang, tanpa mampu aku membenahinya. Kesendirian, kemiskinan dan rasa perih akan membelitku sepanjang tahun ini. Beberapa rencana sepertinya akan batal. Mungkin pulang kampong, satu-satunya keinginan yang harus aku penuhi. Meskipun aku sadar, kepulanganku yang pertama ini berbeda jauh dari rencana semula.
Kampungku diguncang gempa, dan aku didera kemiskinan. Aku tidak tahu sampai hari ini, dengan apa aku akan pulang. Sementara di tanganku tak sepersen pun uang. Entahlah, mungkin kesedihanku kali ini akan bertambah begitu sampai di rumah nantinya. Apa boleh buat. Lebaran di Yogya, dengan kesendirian, dengan luka baru dan hati diliputi cemas akan rumah dan kampong, mungkin tidak seburuk jika aku berada di rumah, di kampong halaman. Kepulanganku yang pertama ini, dengan kemiskinan ini, mungkin akan cukup melepas keresahan diri, meskipun akan rasa tidak aman dan nyaman akan memburukus epanjang waktu. Apa boleh buat. Menjauh dari kesakitan mungkin pengecut. Tapi menghindari dengan kedekatan yang melulu perih mungkin akan menyelamatkan beberapa rencanaku yang sederhana.
Itu saja. Selamat berpuasa. Selamat berlebaran.

Sunday, August 12, 2007

bapak dalam sebuah ingatanku


Abak

agustus ini aku merasa tidak sedang merdeka

Akhir-akhir ini aku sering ingat Abak. Barangkali karena sudah lama kami tidak bertemu dan kini aku merindukannya. Aku bayang-bayangkan wajahnya yang semakin hari semakin kurus itu, yang bersisa di wajahnya dan tak berubah tentu hanya kumis tebalnya yang kini barangkali pula sudah putih semua. Rambutnya juga. Aih, waktu empat tahun tentu telah merubah banyak tubuhnya. Kulitnya tentu tidak lagi sekencang dulu, banyak kerutannya, urat-urat membentang sepanjang lajur kaki dan tangannya. Bibirnya semakin hitam dan memucat. Tidak, aku tidak tega membayangkan Abak dengan wajah seperti itu.

Tapi siapa yang bisa melawan hukum alam. Dan Abak bukanlah sebagian dari orang yang melulu bersenang-senang, makan enak sehingga ketuaan tak berani merusak tubuhnya. Kabar yang kudengar dari Amak, sepanjang hari Abak tak pernah lepas dari pekerjaan kasarnya sejak dulu. Pagi-pagi dia sudah mengganti pakaiannya dengan kain samping (pakaian ‘resmi’ untuk bekerja), menghirup segelas kopi dan batangan rokok sebelum mengambil cangkul dan bekerja. Tapi Abak tak sedang berangkat ke ladang kami yang dulu, ladang yang pernah kami tinggali delapan tahun lebih. Ladang yang sekaligus rumah kami, di mana hampir tak ada celah lahan yang tak tertanami apa pun. Pada waktu-waktu tertentu kami memanen cabe merah keriting, lain waktu kami memetik kacang panjang, di antara mentimun dan semangka. Di waktu yang lain kami memanen kacang tanah dan jagung. Di lain waktu kami tentu sAmakk di sawah, tapi Abak akan menyisakan sedikit waktu di sore hari merawat cabenya, untuk biaya sebelum musim panen datang.

Kini ladang Abak sudah berpindah juga jalan dan kelokannya. Sekarang setiap kali turun dari rumah dia tidak langsung menghadap kebun yang rimbun tanaman, menyelinap di antara batang-batang kopi, sesekali memperbaiki cabang dan dahan cengkeh, rambutan atau kelapa yang masih muda. Kini Abak mesti menyeberang jalan, melewati sawah munggul yang sesekali penuh luluk (lumpur) di musim hujan dan tanah retak di musim panas sebelum sampai di ladnagnya yang memanjang di antara pematang sawah, di antara dua kampung Taratak dan Lampanjang. Malam-malam ia tak lagi bisa duduk di beranda menatap pohon-pohon yang merunduk karena dingin.

Abak sudah tidak tinggal lagi di rumah kami, rumah yang sudah dibangunnya dengan keringat sendiri. Rumah yang akhirnya berdiri tidak dari tanah tempatnya lahir, tumbuh, berkeringat dan berdarah. Tanah seberanglah yang akhirnya menyelamatkan kami dari rasa malu setelah bertahun-tahun tinggal di ladang, jauh dari permukiman dan tak mampu mengganti alas kasur dan kain samping. Rumah itu pula yang kemudian mengantarkan Abak ke pintu lain.

***

Nasib memang tidak bisa ditebak jalannya. Dulu jika ditanya apa yang kuinginkan nanti kalau besar jawabku selalu pasti. sampai kini.

“Mau bikin rumah untuk Abak dan Amak. Lantainya dua. Abak dan Amak tinggal di lantai atas. Tak boleh bekerja yang berat-berat. Abak hanya duduk, ngopi dan merokok Amak cukup merenda saja.” Aku terlalu kecil waktu itu, terlalu sederhana melihat hal-hal lain yang tak terduga. Belum mengerti arti jarak.

“Kenapa tak boleh bekerja?” Kata Amak selalu, memancingku.

“Kan aku sudah kaya. Jadi tak perlu lagi bekerja.” Kataku tanpa paham apa itu kaya.

“Kalau kami tak bekerja, tangan kami akan sakit dan mudah capek.” Balas Abak tak mau kalah, dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya, membayangkan cita-cita luhur anaknya.

“Nanti ada tukang pijit yang datang.”

“Tapi kami kan harus tetap bekerja.”

“Tidak bisa. Duduk-duduk saja di lantai atas. Ruangannya semua di buat terbuka sekeliling, di tengah-tengahnya kamar tidur.”

“Itu mengasih marah namanya. Masa kami tinggal di rumahmu tanpa bekerja sedikit pun.” Sela Abak pula.

“Ya, kerja sedikit bolehlah. Memperbaiki kandang yang lepas, memeriksa ayam dan telurnya, mencabut rumput dikebun juga nggak apa-apa.”

Amak lain lagi yang dirisaukannya. “Kalau kami tinggal di lantai atas, kami takut terjatuh kalau kemana-mana. Bagaimana pula kami berak dan hendak pipis harus turun-naik tangga.”

“Di atas kan ada kamar mandi dan WC-nya.” Jawabku pula, bangga dengan bayangan yang begitu sempurna.

“Seperti dalam penjara saja.” Kata Abak lalu tertawa.

Kini aku maklum kerisauan Abak dan Amak. Usia tua tentu akan membuat mereka kerepotan jika berhadapan dnegan tangga. Aku berpikir rumah mewah dengan dua lantai sesuatu yang penting dan berharga. Yang tinggal di lantai atas sama seperti raja kedudukannya. Tinggal perintah.

Kini tiap kali Amak menelepon dan mengingatkan aku akan cita-cita dulu aku ingin terisak saja.

“Kini Abakmu di rumah orang. Tak akan mungkin tinggal di rumah beranjung (bertingkat) yang kau bikinkan. Dan Amak tentu sangat kesepian.” Katanya tak kalah gamang.

Kecemasanku sekarang bukan lagi pada soal apakah aku bisa membangunkan rumah untuk mereka atau tidak, tapi lebih pada rasa cemas kehilangan. Kami sudah punya rumah, untuk mereka rasanya cukuplah. Tapi kepergian Abak dari rumah, bagaimana kami bisa kembali membawanya?

“Akukan selalu menemani Amak.” Kataku menyadarkan ingatan.

“Kamu kan sudah berkeluarga. Bagaimana dengan istrimu.”

“Aku tidak akan menikah dengan orang yang cerewet pada Amak dan Abakku.”

“Hanya Amak yang mendiami rumahmu nanti. Tak ada Abak.” Katanya pilu.

Aku menangisi perasaan yang ganjil ini dan terlalu menyukai imaji yang main-main macam begini. Amak sedang mengujiku, itu saja.

“Kau berhasil saja maki sudah bangga.” Begitu selalu katanya.

Tapi Abak pergi, tersesat di pintu lain, bagaimana aku harus menjemputnya. Jika pun aku menjelma Rambun Pamenan, Sutan Palembang, dan tokoh cerita dalam rabab yang berjuang menyelamatkan bapaknya dari musuh yang mengurungnya, kurasa aku tak akan bisa. Sebab dirinya sedang tidak sedang ditawan siapa-siapa. Hatinya mungkin masih tetap ada di rumah, sebagian saja yang dibawanya.

***

“Sekarang kerja Abakmu bertambah-tambah.” Cerocos Amak lewat telepon. “Setiap pekan membawa hasil kebunnya yang tak seberapa ke pasar. Dia jualan terong, cabe, kacang dengan mengecer, maonggok-onggoknya di tengah balai. Maklumlah musim kemarau. Ladangnya sekarang kan tidak seperti di bukit dulu. Musim hujan selalu basah, musim panas kering sekali.” Aku bisa memahami pula tentu Abak akan kerepotan mengatur lahannya yang kecil dan sempit itu, sehingga tak bisa bertanam lebih banyak.

Aku hanya mendengar cerita soal Abak sepenggal-sepenggal dari Amak, sebab beluai tak banyak tahu. Aku paham, kepergian Abak tentu menyisakan rasa sakit dan pedih di hatinya. Tapi selalu saja hal-hal yang dapat diceritakan padaku soal Abak. Dan tentu sangat subjektif mengingat kondisi Amak yang juga sangat berat.

“Sekarang dia juga sering pulang ke rumah kita. Menjenguk Monika dan Fikra ponakanmu itu, begitu alasannya.” Kata Amak pula dnegna nada yang agak berat.

“Biarlah. Itukan rumah beliau juga.” Kataku pula.

Ndak bisa. Sekarang dia sudah tinggal di rumah orang. Itu yang membuat Amak tak mau pulang. Apa pula kata orang kalau nanti Amak pulang dan dia sering ke rumah.”

Aku menahan nafas. Paham benar apa yang dirasa Amak. Beliau terkatung-katung di negeri orang, mengais ringgit demi ringgit untuk dikirim ke rumah.

“Makanya Amak ke Yogya saja. Lebaran ini aku pulang.”

Amak diam saja. Ini sudah sering kami bicarakan. Tiap kali disuruh pulang selalu ada alasannya. Apalagi kalau harus ke Yogya. Aku tidak bisa bahasa Indonesia apalagi bahasa Jawa. Pasti masakannya lain rasanya. Lagi pula aku pasti kangen sama rumah, begitu salah satu alasannya.

“Nah kalau kangen, Amak bisa pulang kan?”

“Dan bertemu bapakmu yang kini tingggal di seberang kampung? Tak akan. Lebih baik Amak balik lagi ke Malaysia.”

Aih, aih, betapa aku tak banyak paham soal rasa.

“Setidaknya pulang dululah dan ikut kami ke Yogya.” Aku sengaja menyebut kami untuk mengatakan ini keputusan ku dan kakak yang tinggal di sini.

Aku mencoba mengingat-ingat wajah Bapak yang semakin kurus saja tentunya. Sedikit aku bisa merasakan bagaimana perasaan Amak jika tinggal di rumah dan sewaktu-waktu bisa bertemu Abak. Tentu amat sakit dan tak nyaman. Jika aku pulang nanti, aku tak tahu bersikap seperti apa di depan Abak. Tapi kesedihan ini rasanya sudah berada pada tempatnya.

Aku mengutuk nasib buruk yang tak mau pergi dari kami.

Yogyakarta, Agustus 2007

Abak: bapak

Amak: ibu

Tuesday, August 7, 2007

Ada Cinta di Yogyakarta

Ada cinta di Yogyakarta, kira-kira demikianlah aku jika boleh berkata.
inilah dia di antaranya:



Eh salah ding, bukan yang ini. maaf. anggap foto yang ini gak ada. yang benar adalah yang di bawah. heheh...

Nah..
sebuah malam di Taman Kuliner

Matamu hilang jejak (bait puisinya Tsabit)
Senyum dan kebahagiaan
dan cinta..

duh...

Tidakkah tanganku sekekar hatiku?
untukmu, yang semerah hatimu
juga bajumu

"Malam ini semakin dingin sayang.."

"Apakah kau harus kusembunyikan di kantomg bajuku
atau di dalam dompet?"

"Lihat.. ada sebuah dunia di sana."

"Tepatnya di hadapan kita."

Aihh.. diri yang sendiri ini.
tapi tidakkah kaus elalu ada di mana pun, sayang?
maka malam yang buram
dan kau yang hitam tenggelam
oleh segala yang buram

sekali lagi lihatlah,
dimanakah Fahmi??

ah.. inikah kebencian?
tentu tidak..
ialah kesedihan, pertemuan yang akan mengentalkan jarak.
tapi lihatlah, kami tegar bukan???

Thursday, July 26, 2007

sajak sajak sederhana

Sajak Kepada Semua Orang

Kepada kalian yang sempat mengenaliku

Padamulah sajak ini kutuliskan

Agar tunai utang janjiku

Kepada kalian yang sempat kusakiti

Kutasbihkan tubuh ini untuk seluruh kebencian

Agar kelak tak ada yang mengenang kebaikan

Yang belum pernah kuperbuat

Kepada kalian yang sempat membenciku

Kupercayakan takdirku atasmu

Agar kelak aku tak melulu hitam-putih

Kesadaranku masih penuh

Kadang, untuk sebuah kejahatan tak ada

Yang pernah meniatkan. Dan kejahatan tercipta

Ketika kau merasa menjadi korban.

Kepada kalian yang sempat merasa dendam

Kuyakini dengan segala kesungguhan

Kaulah malaikat itu yang menentukan arah hidupku

Kepada kalian, kurasa tak perlu maaf

Dengan demikian impaslah kita

Dan kalian tak perlu membayar atas pelajaran

Sederhana ini; tak akan ada yang mengulang

Kejahatan yang sempat kuciptakan.

2007

Sajak kecil

Cinta yang Sederhana

ketika bumi ini terlelap dalam kesunyian abadi

aku masih terjaga menungguimu.

ketika malam merangkak di pucuknya,

aku masih berkata-kata tentang cinta.

bila hidup mengembalikan apa saja ke asal mula

aku masih saja merapal ingatan kepadamu.

bahkan, malam pun serupa lantunan doa,

sebab cinta tak mengenal batas siang atau malam,

tidur atau jaga.

maka, sempurnakanlah pejammu

sebab pada mimpi buruk sekali pun

akan kau temukan tanganku terulur kepadamu.

cinta adalah yang bisa merapikan segalanya

dari dosa dan rahasia.

ketika malam mengembalikanmu pada

kesucian paling purba

segala asal mula sedang digarap untukmu.

ketika terbangun dan kau menjumpaiku

dengan seonggok kisah basi

maka itulah cinta. sepenggal kisah sederhana

sepanjang malam dan pagi harimu.

rumahlebah, 2007

Inalilahi wainailahi raji’un

Telah meninggal

DJATI WALUYO (Yoyok)

47 tahun

13 Juli 2007

Kami memohon maaf atas segala kesalahan yang dilakukan almarhum semasa hidupnya. Semoga diampuni semua dosa-dosanya oleh Allah SWT dan diberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin-amin ya Rabbal Alamin.

Kami yang berduka cita:

Keluarga Syahbandria

Keluarga Umi Pujoherwati


Begitu gampangnya kesempatan itu. tak ada yang menduga kecuali Dia yang berkehendak dan dia yang meminta. segalanya sudah diaturkah bukan? maka izinkan kami melepas segala yang pergi, segala yang mati. bukankah kelak kita akan susul-menyusul menuju-Nya juga?

ah..!!!

Sunday, July 22, 2007

Tuesday, June 19, 2007

momento

ingatan, kadangkala mengingatkan kita akan sebuah hal: perih dan sedih. tetapi, tidak hari ini.


adakah ini semacam kesunyian atau semacam kemerdekaan ketika kau sendirian, sayang?


ketika ini, adalah waktu terasa berhenti


kadangkala, kita hadir di suasana yang lain dengan cinta yang sama. di antara keramaian, pada siapa pun kita bertatap, pada apa pun kita mengenal. kita adalah kita, untuk sebuah waktu yang panjang.


ah, kata, apalah kata, tak cukup bisa menghapus semua jejak. dan jauh di depan, apa pun bisa saja terjadi. tapi, bukankah kita berpeluk, hingga angin pun tak bisa lewat?



ai-ai, kita yang senantiasa bersama bukans emata urusan cinta. tapi sesuatu yang lahir tiba-tiba, saat di mana kau membutuhkanku, saat bila aku butuhmu. dan kita, memang tak melulu untuk ini.

di sana, di depan kita apa-apa selalu ada. segalanya bisa terjadi. kemungkinan-kemungkinan yang tidak pernah kita sadari...


dan, aku merenggas tanpa kita. juga kau, tentu saja...

tentang hati

aih, di sini, akankah selalu ada cinta???
Begitulah sayangku, aku selalu saja diusik sejuta gaduh tentang rasa dan hati. siapa yang bisa meyakini pikirannya esok pagi atau lusa nanti?
Tentu tak ada yang salah jika kelak kita sudahi semuanya. salah satu dari kita pergi dengan sesungguhnya dan satu yang lain meraba perih. tapi apa pun itu, kita harus mencoba menerimanya. sebagaimana kau, juga aku.
Tapi ta, aku ingin kita selalu di sini. di rumah sederhana yang kita cipta dnegan segudang impian dan harapan. sampai kita tua, sampai di mana kita pergi, lenyap dan tak ada lagi.
masihkah sudi kau di sini bersamaku menatap matahari pagi??

Tuesday, June 5, 2007

senja hari


pada waktunya, barangkali semua tinggal kata-kata dan ingatan kecil belaka.

tapi sebelum semua sampai pada titiknya, aku ingin menarik perahu lagi ke tepi dan bersandar di pelabuhan buruk ini.

sampai kapankah, angin nakal benar-benar pergi??

di seberang, sebuah nyanyian sedang dimainkan dan senja sedang merembang.

memiliki, serupa apa lagi??


aih..aih..

katakan, serupa apa lagi kita membangun hidup dan merancang masa depan, agar angin tak lagi menerbangkan rumah kertas kita??

Wednesday, May 30, 2007

Sebuah Ingatan yang (Mulai) Sumbing
silaukah matamu oleh cahaya itu? atau matamu perih? Ataukah ada rahasia yang tersimpan di dalamnya dan ingin segera kau miliki?

aku mencintaimu dengan seluruh kata yang lahir dari mulutku. seluruh kata yang tak akan pernah kau pahami kebenarannya.ia adalah isyarat, di mana kita hanya bisa menandainya.

kenangan, kau tahu? Ia menumpuk dan tak akan bisa kau buanhg begitu saja. selalu ada yang tersisa dan kembali bisa digandakan.

penggalan kecil

Mei, Ulang Tahun dan Sebuah Luka


Kamu tahu artinya berdusta? Tahu sakitnya dibohongi?
Lalu tahukah kau seperti apakah itu cinta? “Kita tak pernah tahu bentuknya. Ia tak melulu putih, kadang abu-abu, gelap dan hitam.” Katamu meniru sajak Dorothea. Aku tak tahu soal itu.
Mei, kau tahu, ini musim berkabut sayang, dan kita hanya punya rumah dari kertas yang kita lukis dengan dada berdebar. Di dalamnya kita tanam impian sederhana dan perihal kecil lainnya. Sebuah senja, kau paham, adalah ambang di mana hidup dan mati dimulai, akhir dan permulaan sedang kita garap.
Pancaraoba, kau tahu. Mei melulu pergantian musim dan rasa sakit. Tidak, kau justru merayakan sebuah perayaan besar, saat di mana kau menglang kelahiranmu dan merasakan sebuah telepon yang tiba-tiba. Begitu saja, aku terlempar. Kabar-telpon dan ucapan selamat dariku yang miskin dan tak romantis ini lenyap dimakan angin oleh eforia sederhana.
Kau mulai mencuri kata-kata romantis dari sajakku dan menyusunnya pada sebuah partitur. Sebuah lagu kalian mainkan begitu riang dan penuh getar. Ada bahagia, sesak, takut dan rahasia. Apa yang tak lebih nikmat dengan sesuatu yang sembunyi-sembunyi? Dan kita terbiasa dengan sesuatu yang dilarang, sesuatu yang ditabukan. Semakin sulit, semakin dasyat sensasinya.
Ada yang luka memang. Ada yang perih. Ada yang nyeri.
Kau dan aku. Kita.
Apa sebenarnya cinta? Lalu serupa apakah warna luka? Merah? Itu darah.
Kau menyembunyikan sebuah lagu yang diam-diam begitu rahasia dan mendebarkan bagimu. Dan cinta kita. Duhai, bagaimana rupanya bermain sandiwara dalam sebuah cerita cinta yang rumit?
Selesai?
Aku membencimu dengan seluruh cinta yang kumiliki. Siapa yantg pecundang sebenarnya? Mengapa selalu, kita berahasia untuk sebuah sensasi dan debar dada.
Kau tahu, aku membencimu dengan terus mencintaimu. Itulah dendamku. Untuk seluruh salah akan kubalaskan dendam dengan mencintaimu dengan seluruh.
Peliuk aku, peluk aku dan kita selesaikan segalanya.
Kita tak butuh pemenang. Kita hanya butuh hidup sederhana dengan pertengkaran kecil tentang pulsa, sisa uang dan jadwal apel. Setelahnya, biarkan kepalamu di bahuku. Aih, masihkah ia bisa menampung seluruh duka seluruh luka? Dadaku, dadaku yang tipis ini masihkah kuat menampung kesedihan yang aku-kamu lakukan? Menangislah untuk masa lalu dan berbuatlah untuk masa ini.
Jangan berjanji atawa sumpah. Karena cinta untuk dijalani dan dinikmati.
Dan peluk aku sekali lagi.

Wednesday, May 16, 2007

Met Ultah, Sayang


Met Ultah, Sukmaku, sayang.

12 Mei, 19 tahun lalu kau dilahirkan. Waktu itu aku belum mengenalmu kau juga belum mengenalku, dek. Setengah bercanda, menghibur diriyang terkadang galau kita saling berkata, “Sebenarnya kita sudah mengenal dari dulu, bahkan sebelum kita sempat diiptakan.” Dan sekuat tenanga kita mencoba mempercayainya. Tentu dengan gundah yang nyaris sama.

Kadang aku berharap demikian. Sebagai mana kau juga menginginkannya, dek.

Barangkali kalian akan menganggap ini semacam igauan sepasang pecinta yang malang dan mabuk oleh haru biru. Tapi kukatakan, setiap pejalan pada waktunya, ingin menghabiskan waktunya di sebuah tempat yang dirasa paling aman. Dan aku, menemukan itu pada kau, Mutia Sukma.

Impian setiap pecinta adalah keinginan bahwa, “kau adalah yang terakhir.” Dan kita, apa bedanya? Terasa kekanankan bukan? Tapi cinta, di mana pun, kapan pun, pada siapa pun, ia –cinta itu– tak pernah dewasa.

Lima tahun jarak usia kita. Dengan itu kadang aku merasa sebagai seorang kakak, sesekali dengan segala rumusan rahasia aku menjelma seorang kawan dan lebih banyak menyimpan kecerwetan dan keingnan-keinginan sederhana padamu. Sebagaimana juga kau, kadang kita merasa marah dan mau muntah, tapi cinta tidak akan selesai begitu saja.

Suatu waktu kita ditemukan, kau naik ke panggung, membacakan sebuah puisi Ken Hawa dan kau persembahkan buat Oom Saut. Kau tahu waktu itu, bagaimana cueknya aku. Aku terlalu tidak tertarik dengan orang-orang baru. Bagiku, mereka, hanya menulis peristiwa singkat dan membiarkan aku kering untuk lanjutan yang tak akan pernah ada. Dan kau, seorang asing, stranger. Apa bedanya di antara sekian banyak orang yang tak kukenal di acara Mimbar penyair Muda Yogya ini. Ah, waktu itu menunjuk sekira Agustus 2006.

Setelahnya seseorang menggigaukan dirimu dengan keras. Dan aku merasa mengenalmu melebihi siapa pun. sebagaimana kita yakin, kisah ini sudah bermula semenjak ribuan tahun yang lalu. Kita hanyalah inkarnasi.

Kau sering berkunjung. Dan aku menjadi begitu istimewa. Kau datang dengan cara yang asing, membangunkanku diam-diam, dan mempercayakan segalanya kepadaku. Kau tidak ragu atas apa pun, dan seluruhnya nyaris mempercayaiku. Dan kita menjadi begitu akrab. Begitu akrab.
Kita selalu bersama setelahnya. Sepanjang waktu, hingga detik ini pun.

Ramadhan, kemiskinan mengungkungku. Nyaris seluruh waktuku ku gantungkan pada banyak orang. Jusuf AN, dan kawan-kawan. Kadang aku harus puasa 24 jam dan batas di setiap 12 jamnya adalah segelas air putih dan segenggam kesedihan. Juga kerinduan pada kampung halaman.

Kau rajin menziarahiku. Membawa sebungkus nasi, mengajakku makan dan seperti biasa, membangunkanku dengan cara yang unik dan begitu halus. Sejak itu, sebenarnya kita sudah pacaran. Sudah menjadi sepasang kekasih. Bukankah cinta tak harus terucapkan?

Sebuah waktu yang tak mungkin kita lupa (tentang persisnya biarlah kita saja yang mengngatnya) adalah saat di mana kau mengunjungiku saat aku merasa tidak punya siapa-siapa. Dan aku merasa kita sudah tidak bisa dipisahkan. Tak bisa dipisahkan. Dan kau katakan:


palung mengajarkan kita
tentang kelemahan menjadi kekuatan abadi
yang membantu naik ke daratan lagi
sekedar kembali mencangkulcangkuli tanah
yang tak pernah menjadi milik kita
namun, demi sepetak ladang stowbery
tumbuh di hatimu
maka dengan keikhlasan paling sempurna
kuwakafkan diriku sebagai tanah yang paling
gembur untuk kaugarap kapan saja
di mana tetes keringatmu
sebagai tasbih yang paling mulia
dan di tanah kita kelak
kan kutulis surat cinta sederhana
semacam penghapusan masa silam
yang akan segera diriwayatkan
dijilid dalam sebuah buku
lalu disimpan di kardus bekas mie instant
(bantuan gempa setengah tahun silam).

20 desember 2006
(Surat Kepada K)

aku gamang sayang. Bisakah kita berjalan dengan segala peristiwa yang kita alami sebelumnya, dengan segala kerumitannya. Aku mencatatnya begini:

dan kau, sepasang matamu yang bening dan kanakkanak
tak cukup menyelamatkanku dalam harubiru
“setiap soal, setiap beban adalah perihal yang
membesarkan.” aku tak cukup kuat menafsir ulang
banyak kisah; lebaran ini, kerinduanku dibalut gunda dan luka.
kau menafsirnafsir lukaku dan aku sedikit
berpurapura menceritakan kerinduan yang dangkal; wajah ibu,
aroma kampung, lemangtapai, ketupat dan irama takbir
tapi, rahasia itu tetaplah terus terjaga
yang barangkali kelak akan kau tau juga, saat di mana
aku tak bisa merangkulmu lagi
- jika kau benarbenar pergi.
“jangan pergi dulu,” kataku di malam itu. “ikutlah bersamaku
kita akan rayakan keriuhan di jalanjalan, di alunalun sampai
kita muak dan muntah dengan sedikit sesal yang tertunda”
ramadhan telah usai, adakah besok, waktu yang lain
akan mempertemukan kita serupa peristiwa ini?
sebab kelak, mungkin kita tidak akan menghabiskan waktu
di jalan ini lagi. barangkali aku akan berada di tempat tersunyi
dan kau sedang menyandarkan kepala di bahu entah siapa
"itu kau," katamu dengan mata yang serupa malam
tapi tidak, kita tak beranjak
kita samasama berdusta, ”tinggallah di rumah,” katamu,
“kita akan makan ketupat dan dari dalam akan kita dengan irama takbir.”
kali ini aku menjadi manusia yang sedikit patuh, setidaknya
untuk sepiring ketupat. dan kita bercerita sesuatu yang cengeng;
tentang rumah masa depan, kata seorang kawan.
jika kata adalah doa sunggukah ia akan ada?
oh, celaka! banyak hal yang begitu rahasia. dan kami
yang tak pernah kuceritakan padamu adalah peristiwa konyol
yang entah akan selesai di mana –katakanlah, bagaimana aku bisa
meninggalkanmu jika bau rambutmu terus mengejarku.
malam itu – setelah pesta kecil itu – kau menghibur
kecengenganku dan aku berdusta padamu tentang
semua kerinduan itu. “aku ditinggalkan banyak waktu,
ditinggalkan banyak kisah.” kataku.
“setiap orang tengah mencipta peristiwa lain
atau menyambung kisah yang lama.”
“dan aku ingin punya persoalan denganmu saja.”
kataku dan kau tertawa
inilah rahasianya: setiap orang, setiap kita punya peristiwa dengan
banyak orang. ini rumit dan ini jauh lebih rumit. dan kami, suatu waktu
-ah, betapa aku menjadi tolol– menjalin peristiwa kecil
yang menyesakkan.
dengarlah, aku tulis puisi ini untukmu
sebagai isyarat keberangkatanku. sebagaimana kau tak datang
di hari pertama lebaran ini. “menziarahi waktu. mengunjungi setiap orang yang
mencatat peristiwa denganku.”katamu.
“dan aku, tidakkah juga perlu sebuah ziarah?’
“ah, kau kan kisah yang lain, koto!” –atau tidak terlalu penting?
“enak aja! untukmu akan ada peristiwa lain yang sedikit berbeda.”
-ah, bukankah selalu berbeda. Serupa apa?
dan aku sakit. lalu rumah redup dari bayangku
masa kanak lindap oleh peristiwa kecil dan tuhan tengah mengucapkan
selamat lebaran padaku. tidakkah kau tahu?
ah, kau tak akan pernah tahu,
- atau adakah tengah menjelma kekasih wahai perempuan
yang kukenal lewat sebait puisi.
dan tuhan kembali mengirimkan kartu pos dan bingkisan;
dosa dan dirimu.
Di antara itu semua akan adakah kita?
poetika, 2006
(Sebuah Lebaran Untuk seorang perempuan)


kau tahu, ketika itu aku tak begitu yakin dnegan hasratku. Tapi kita berkjehendak lain. Dan sebuah kesepakatan, tanpa janji-janji cengeng, tanpa sumpoah-sumpah palsu, tanpa kata berbunga, kita sepakat bersama-sama menjalani hari-hari ke depan. “Kesendirian terlalu menakutkan, sayang.”

Dan waktu berlari. Kita melaju dengan cepat hingga hari ini. Tahun bergulir dengan buru-buru dan kini, Mei mengetuk pintu. Kau tahu dek, tak akan ada boneka anjing, tak ada tart kecil dengan sebongkah lilin yang bertuliskan angka 19 yang akan kau tiup dengan riang. Karena hidup begitu keras, sayang. kita sedang bergegas ke satu arah, satu titik di mana “impian masa depan” kita sedang menunggu: sebuah rumah kecil dan sederhana di pinggiran sungai, di sampingnya sawah menghampar. Aku ingin menulis sampai tua, kau ingin menjadi seorang dosen yang mengajar ini –itu. kita kedatangan banyak tamu. Setiap hari kawan-kawan kita datang berkunjung, numpang tidur dan makan, bercerita tentang kota, polusi dan asapnya, tulisan di koran-koran, keluhan pada hidup. Dan kita merasa beruntung, setidaknya mau jadi pendengar yang baik. Lalu kita mengurungnya di perpustakaan pribadi kita. Menyediakan segala sesuatu buat dia. Dan aku masih bisa membaca koran setiap pagi dan di minggu siang kita sibuk berdiskusi tentang isi koran. Dan anak-anak kita lahir dan berebut tumbuh.

Kau tahu, dulu aku tak pernah punya pikiran senikmat ini. Aku membenci semuanya. Benci. Tapi, kini kita mesti belajar mmpercayai ingatan dan menyusun harapan. “memandangs esuatu dengan positif.” Katamu. Dan kita tuerus berjalan di atas bumi yang semakin asing ini. Semakin rumit ini. Tak terpetakan, sayangku. Sungguh.

Kau terus mencipta puisi demi puisi. pertemuan-pertemuan yang terkadang kita isi dengan pertengkaran, jalan-jalan dan mempercakapkan hal-hal penting dan tak penting. Datang ke acara-acara sastra sebagaimana biasanya: orang bingung dan tak banyak paham.

Dan aku tak jua bisa menemukan sebuah kado yang pas untukmu. “aih, barangkali di hari ulang tahunmu nanti. Akan kuberi sebongkah hati. Mentah, merah, berdarah. Agar kau paham detaknya.”