Sunday, August 12, 2007

bapak dalam sebuah ingatanku


Abak

agustus ini aku merasa tidak sedang merdeka

Akhir-akhir ini aku sering ingat Abak. Barangkali karena sudah lama kami tidak bertemu dan kini aku merindukannya. Aku bayang-bayangkan wajahnya yang semakin hari semakin kurus itu, yang bersisa di wajahnya dan tak berubah tentu hanya kumis tebalnya yang kini barangkali pula sudah putih semua. Rambutnya juga. Aih, waktu empat tahun tentu telah merubah banyak tubuhnya. Kulitnya tentu tidak lagi sekencang dulu, banyak kerutannya, urat-urat membentang sepanjang lajur kaki dan tangannya. Bibirnya semakin hitam dan memucat. Tidak, aku tidak tega membayangkan Abak dengan wajah seperti itu.

Tapi siapa yang bisa melawan hukum alam. Dan Abak bukanlah sebagian dari orang yang melulu bersenang-senang, makan enak sehingga ketuaan tak berani merusak tubuhnya. Kabar yang kudengar dari Amak, sepanjang hari Abak tak pernah lepas dari pekerjaan kasarnya sejak dulu. Pagi-pagi dia sudah mengganti pakaiannya dengan kain samping (pakaian ‘resmi’ untuk bekerja), menghirup segelas kopi dan batangan rokok sebelum mengambil cangkul dan bekerja. Tapi Abak tak sedang berangkat ke ladang kami yang dulu, ladang yang pernah kami tinggali delapan tahun lebih. Ladang yang sekaligus rumah kami, di mana hampir tak ada celah lahan yang tak tertanami apa pun. Pada waktu-waktu tertentu kami memanen cabe merah keriting, lain waktu kami memetik kacang panjang, di antara mentimun dan semangka. Di waktu yang lain kami memanen kacang tanah dan jagung. Di lain waktu kami tentu sAmakk di sawah, tapi Abak akan menyisakan sedikit waktu di sore hari merawat cabenya, untuk biaya sebelum musim panen datang.

Kini ladang Abak sudah berpindah juga jalan dan kelokannya. Sekarang setiap kali turun dari rumah dia tidak langsung menghadap kebun yang rimbun tanaman, menyelinap di antara batang-batang kopi, sesekali memperbaiki cabang dan dahan cengkeh, rambutan atau kelapa yang masih muda. Kini Abak mesti menyeberang jalan, melewati sawah munggul yang sesekali penuh luluk (lumpur) di musim hujan dan tanah retak di musim panas sebelum sampai di ladnagnya yang memanjang di antara pematang sawah, di antara dua kampung Taratak dan Lampanjang. Malam-malam ia tak lagi bisa duduk di beranda menatap pohon-pohon yang merunduk karena dingin.

Abak sudah tidak tinggal lagi di rumah kami, rumah yang sudah dibangunnya dengan keringat sendiri. Rumah yang akhirnya berdiri tidak dari tanah tempatnya lahir, tumbuh, berkeringat dan berdarah. Tanah seberanglah yang akhirnya menyelamatkan kami dari rasa malu setelah bertahun-tahun tinggal di ladang, jauh dari permukiman dan tak mampu mengganti alas kasur dan kain samping. Rumah itu pula yang kemudian mengantarkan Abak ke pintu lain.

***

Nasib memang tidak bisa ditebak jalannya. Dulu jika ditanya apa yang kuinginkan nanti kalau besar jawabku selalu pasti. sampai kini.

“Mau bikin rumah untuk Abak dan Amak. Lantainya dua. Abak dan Amak tinggal di lantai atas. Tak boleh bekerja yang berat-berat. Abak hanya duduk, ngopi dan merokok Amak cukup merenda saja.” Aku terlalu kecil waktu itu, terlalu sederhana melihat hal-hal lain yang tak terduga. Belum mengerti arti jarak.

“Kenapa tak boleh bekerja?” Kata Amak selalu, memancingku.

“Kan aku sudah kaya. Jadi tak perlu lagi bekerja.” Kataku tanpa paham apa itu kaya.

“Kalau kami tak bekerja, tangan kami akan sakit dan mudah capek.” Balas Abak tak mau kalah, dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya, membayangkan cita-cita luhur anaknya.

“Nanti ada tukang pijit yang datang.”

“Tapi kami kan harus tetap bekerja.”

“Tidak bisa. Duduk-duduk saja di lantai atas. Ruangannya semua di buat terbuka sekeliling, di tengah-tengahnya kamar tidur.”

“Itu mengasih marah namanya. Masa kami tinggal di rumahmu tanpa bekerja sedikit pun.” Sela Abak pula.

“Ya, kerja sedikit bolehlah. Memperbaiki kandang yang lepas, memeriksa ayam dan telurnya, mencabut rumput dikebun juga nggak apa-apa.”

Amak lain lagi yang dirisaukannya. “Kalau kami tinggal di lantai atas, kami takut terjatuh kalau kemana-mana. Bagaimana pula kami berak dan hendak pipis harus turun-naik tangga.”

“Di atas kan ada kamar mandi dan WC-nya.” Jawabku pula, bangga dengan bayangan yang begitu sempurna.

“Seperti dalam penjara saja.” Kata Abak lalu tertawa.

Kini aku maklum kerisauan Abak dan Amak. Usia tua tentu akan membuat mereka kerepotan jika berhadapan dnegan tangga. Aku berpikir rumah mewah dengan dua lantai sesuatu yang penting dan berharga. Yang tinggal di lantai atas sama seperti raja kedudukannya. Tinggal perintah.

Kini tiap kali Amak menelepon dan mengingatkan aku akan cita-cita dulu aku ingin terisak saja.

“Kini Abakmu di rumah orang. Tak akan mungkin tinggal di rumah beranjung (bertingkat) yang kau bikinkan. Dan Amak tentu sangat kesepian.” Katanya tak kalah gamang.

Kecemasanku sekarang bukan lagi pada soal apakah aku bisa membangunkan rumah untuk mereka atau tidak, tapi lebih pada rasa cemas kehilangan. Kami sudah punya rumah, untuk mereka rasanya cukuplah. Tapi kepergian Abak dari rumah, bagaimana kami bisa kembali membawanya?

“Akukan selalu menemani Amak.” Kataku menyadarkan ingatan.

“Kamu kan sudah berkeluarga. Bagaimana dengan istrimu.”

“Aku tidak akan menikah dengan orang yang cerewet pada Amak dan Abakku.”

“Hanya Amak yang mendiami rumahmu nanti. Tak ada Abak.” Katanya pilu.

Aku menangisi perasaan yang ganjil ini dan terlalu menyukai imaji yang main-main macam begini. Amak sedang mengujiku, itu saja.

“Kau berhasil saja maki sudah bangga.” Begitu selalu katanya.

Tapi Abak pergi, tersesat di pintu lain, bagaimana aku harus menjemputnya. Jika pun aku menjelma Rambun Pamenan, Sutan Palembang, dan tokoh cerita dalam rabab yang berjuang menyelamatkan bapaknya dari musuh yang mengurungnya, kurasa aku tak akan bisa. Sebab dirinya sedang tidak sedang ditawan siapa-siapa. Hatinya mungkin masih tetap ada di rumah, sebagian saja yang dibawanya.

***

“Sekarang kerja Abakmu bertambah-tambah.” Cerocos Amak lewat telepon. “Setiap pekan membawa hasil kebunnya yang tak seberapa ke pasar. Dia jualan terong, cabe, kacang dengan mengecer, maonggok-onggoknya di tengah balai. Maklumlah musim kemarau. Ladangnya sekarang kan tidak seperti di bukit dulu. Musim hujan selalu basah, musim panas kering sekali.” Aku bisa memahami pula tentu Abak akan kerepotan mengatur lahannya yang kecil dan sempit itu, sehingga tak bisa bertanam lebih banyak.

Aku hanya mendengar cerita soal Abak sepenggal-sepenggal dari Amak, sebab beluai tak banyak tahu. Aku paham, kepergian Abak tentu menyisakan rasa sakit dan pedih di hatinya. Tapi selalu saja hal-hal yang dapat diceritakan padaku soal Abak. Dan tentu sangat subjektif mengingat kondisi Amak yang juga sangat berat.

“Sekarang dia juga sering pulang ke rumah kita. Menjenguk Monika dan Fikra ponakanmu itu, begitu alasannya.” Kata Amak pula dnegna nada yang agak berat.

“Biarlah. Itukan rumah beliau juga.” Kataku pula.

Ndak bisa. Sekarang dia sudah tinggal di rumah orang. Itu yang membuat Amak tak mau pulang. Apa pula kata orang kalau nanti Amak pulang dan dia sering ke rumah.”

Aku menahan nafas. Paham benar apa yang dirasa Amak. Beliau terkatung-katung di negeri orang, mengais ringgit demi ringgit untuk dikirim ke rumah.

“Makanya Amak ke Yogya saja. Lebaran ini aku pulang.”

Amak diam saja. Ini sudah sering kami bicarakan. Tiap kali disuruh pulang selalu ada alasannya. Apalagi kalau harus ke Yogya. Aku tidak bisa bahasa Indonesia apalagi bahasa Jawa. Pasti masakannya lain rasanya. Lagi pula aku pasti kangen sama rumah, begitu salah satu alasannya.

“Nah kalau kangen, Amak bisa pulang kan?”

“Dan bertemu bapakmu yang kini tingggal di seberang kampung? Tak akan. Lebih baik Amak balik lagi ke Malaysia.”

Aih, aih, betapa aku tak banyak paham soal rasa.

“Setidaknya pulang dululah dan ikut kami ke Yogya.” Aku sengaja menyebut kami untuk mengatakan ini keputusan ku dan kakak yang tinggal di sini.

Aku mencoba mengingat-ingat wajah Bapak yang semakin kurus saja tentunya. Sedikit aku bisa merasakan bagaimana perasaan Amak jika tinggal di rumah dan sewaktu-waktu bisa bertemu Abak. Tentu amat sakit dan tak nyaman. Jika aku pulang nanti, aku tak tahu bersikap seperti apa di depan Abak. Tapi kesedihan ini rasanya sudah berada pada tempatnya.

Aku mengutuk nasib buruk yang tak mau pergi dari kami.

Yogyakarta, Agustus 2007

Abak: bapak

Amak: ibu

No comments: