Tuesday, November 4, 2008

cerpen

Organ Tunggal

Indrian Koto

Mahen betul-betul meradang. Ia merasa sangat marah melihat pertunjukan organ tunggal yang berlangsung di halaman samping rumahnya itu. “Ini sudah keterlaluan, tidak ada toleransi untuk maksiat macam begini.”

Ia merasa tidak bisa terima pakaian penyanyi seminim itu. Tanpa risih sedikit pun ia melenggok di panggung dengan rok yang jauh di atas lutut sehingga memperlihatkan celana dalam hitam ketatnya, baju tanpa lengan yang memperlihatkan pusar dan sebagian perutnya serta membiarkan punggung bagian atasnya terbuka.

“Memang begitu tradisinya, Bang.” Mugil, adiknya menanggapi. “Namanya juga menghibur.”

“Dia menghibur dengan nyanyian atau tubuhnya? Kau mengundang organ tunggal untuk mendengar musik bukan? Bukan untuk tubuh terbuka dan goyangan demikian.” Sungutnya.

“Ya bagaimana lagi?!” Mugil menjawab setengah kesal setengah bercanda. “Sudah satu paket dari sananya.”

Mendengar itu Mahen kian marah dan berbalik meninggalkan adiknya yang hanya bias melongo.

Mugil menggaruk kepalanya. Ia heran dengan tingkah kakaknya. Bukankah organ tunggal memang identik dengan goyangan. Soal pakaian, itu kan hanya baju panggung. Mugil mengenal satu-dua orang penyanyi organ tunggal. Bahkan dia juga nyaris berpacaran dengan Lisya, salah satu artis organ tunggal yang agak populer dan masih sekolah. Jika itu terjadi yang menjadi pendampingnya sekarang bisa-bisa bukan Yeyen. Atau sama sekali belum menikah saat ini. Siapa tahu!

“Kalau tidak berani begitu, tak akan ada yang mau ngajak kita manggung, Bang.” Mugil ingat kata-kata Lisya dulu. “Mana ada orang mau mengundang kita yang menyanyi dengan pakaian rapi.”

Mugil paham akan hal itu. Ia biasa dengan hiburan organ tunggal dan hampir selalu mengikuti di setiap hajatan. Lisya benar, jika penyanyi tidak berpenampilan seksi mana ada yang mau menonton pertunjukan itu. Dan biasanya, sepanjang yang dibicarakan juga soal artisnya, cantik-tidak cantiknya, soal goyangnya, dan semacamnya. Tak ada pembahasan masuk ke soal suara dan teknik bernyanyi. Baginya, lagu apa pun yang dibawakan para penyanyi oke aja. Yang penting goyangnya, bung!

***

Ujang Korea yang menjadi MC sekaligus yang mendapat tanggung jawab kelompok organ tunggalnya, merasa kalang kabut setelah didamprat Mahen. Ia bingung sekaligus heran, biasanya tuan rumah yang meminta penyanyi organ yang cantik dan berpakaian yang lebih terbuka. Tetapi kali ini kok ada tuan rumah yang tersinggung karena pakaian artisnya?

“Pokoknya, kalau sampai artismu tidak berganti pakaian, acara ini akan dihentikan pada pukul dua belas pas.”

Ujang melongo. Jika berhenti jam 12 malam, teman-teman pemuda yang setengah teler itu bisa ngamuk. Padahal di jam-jam itulah para pemuda bertingkah agresif, meminta dinyanyikan lagu dengan irama triping dan para penyanyi organ harus bergoyang lebih hot. Inilah puncak acara bagi pemuda dan pertunjukan kebolehan bagi sang artis. Pemuda terhibur, tuan rumah senang, si artis bisa terkenal!

Ia lalu mengadu pada mugil.

“Kami tidak ada masalah sebenarnya kalau acara ini diberhentikan jam 12 malam atau sekarang. Tapi kami ndak tanggung jawab kalau pemuda nanti pada ngamuk.” Cerocos Ujang Korea.

Mugil melamun sejanak. Wah, gawat juga! Pikirnya. Ia serba tidak enak. Kakaknya ini baru beberapa hari ini di rumah. Ia sengaja pulang ke rumah untuk merayakan lebaran sekaligus ingin melihat pernikahan adnya. Ini kepulangan pertama sejak empat tahun belakangan. Semula bahkan Mugil berpikir kakaknya itu tak akan pulang menyaksikan pernikahannya ini. Di kampung ini, tidak etis seorang adik melangkahi kakaknya dengan menikah lebih dulu. Untuk membicarakan pernikahan melalui telepon pun Mugil merasa begitu sungkan dan hati-hati. Tetapi kakaknya yang kuliah di Yogyakarta itu terdengar sangat riang mendengar kabar tersebut dan berjanji akan segera pulang jika acara pernikahan itu bertepatan dengan waktu liburnya.

“Memang harus begitu,” ucap kakaknya dari seberang. “Jika merasa sudah mampu harus segera menikah. Agama menganjurkan berbuat demikian, agar tercipta keluarga yang mawaddah warahmah…”

Kakaknya tidak bertanya lebih jauh lagi soal siapa calon istrinya atau tempat tinggal dan semacamnya. Ia lebih banyak memberi nasehat dan dukungan. Mugil tentu sangat senang mendengar reaksi kakaknya itu.

Setelah melakukan rapat dengan keluarga besar, akhirnya pernikahan itu disepakati akan diadakan selepas lebaran, agar kuliah Mahen tidak terganggu lantaran kepulangannya tersebut. Dan kini, kakaknya ngamuk, itu membuat Mugil tak enak hati. Ia tak ingin kakaknya kecewa, tetapi ia juga tak ingin mengusik ketenangan orang-orang dan kawan-kawannya yang menonton.

Mugil tahu, kalau kakaknya tidak senang dengan sikap kawan-kawannya tersebut. Mereka meminta minuman dan rokok pada tuan rumah. Tetapi hal itu bukan pula rahasia. Siapa pun yang bikin hajat untuk acara apa pun, sudah menyiapkankan hal tersebut. Itu menjadi tradisi bagi anak muda dan pemilik hajatan. Mereka sudah menyiapkan berbotol-botol minuman, berslop-slop rokok untuk para pemuda setempat untuk keberlangsungan acara.

. “Tidak ada uang untuk membeli minuman haram, tidak ada uang untuk rokok dan keamanan segala. Kalau mereka mabuk dan terus merokok, bukannya keamanan yang tercipta…” Kata Mahen menentang

Mugil mengiyakan keinginan kakaknya tersebut, tetapi diam-diam tetap memberi lembaran uang pada teman-temannya untuk membeli minuman dan rokok.

Mugil tak tak ingin bertengkar soal tradisi anak muda dengan kakaknya itu. Sudah pasti akan sangat bertentangan. Dulu, pernah terjadi pertengkaran hebat antara kakaknya dengan sahabat ayahnya gara-gara omong-omong soal partai. Teman sang ayah ngambeg. Mahen dibujuk-bujuk untuk meminta maaf. “Meminta maaf apa? Bukankah dalam sebuah debat ada ide yang paling unggul? Dia saja yang tidak bisa menalar logikaku.”

Pada akhirnya, sang bapaklah yang mengalah dan kembali berkunjung. Untunglah tak terjadi pertengkaran lagi. Selama kunjungan itu tak satu pun yang mengungkit sesuatu yang sifatnya ideologis.

“Bagaimana kalau kau turuti saja keinginan dia, Jang?” Ucap Mugil putus asa.

“Menuruti bagaimana?” Tanya Ujang Korea bingung.

“Ya, suruh semua artismu ganti baju. Yang lebih sopan saja…”

“Lho bukankah biasanya juga begitu? Yang diprotes cuma Sheila. Dian Arista dan Yayuk Pratiwi ndak masalah. Sheila Pustipa kan bintang organ kami. Kalau dia pakai baju tertutup wah bisa ngamuk Bos Tasman. Bakalan gak laku organ ini.”

Mugil mengangguk bingung.

“Kamu tahu kan, Sheila itu sedang naik daun? Tak gampang mengajak dia untuk main di acara kita. Ini karena aku yang ngajak. Dan aku mengajaknya juga karena kamu kawanku, lo..”

“Iya, aku paham. Tapi bagaimana usulku tadi?” Mugil kembali menawar.

“Bukan kami menolak. Mereka bawa kostum panggung kan cuma satu. Nyari di mana sekarang? Nah, kalau diberitahu sama Sheila, kemungkinan dia bisa tersinggung. Apa yang mereka pakai kan sudah standar pentas?”

***

“Ndak bisa lagi, Bang. Kalau dari awal dibilangin tentu akan lain masalahnya. Kita juga ndak bisa menghentikan acara ini begitu saja.” Kata Mugil pada kakaknya yang sedang marah itu.

“Ndak bisa bagaimana? Orang yang mengundang mereka itu kita. Mereka kan kita bayar untuk mengikuti permintaan kita. Kalau kita bilang berhenti sekarang mereka juga harus berhenti.”

“Bukan itu perkaranya. Anak-anak muda bisa ngamuk kalau sampai acara dihentikan.”

“Kalau begitu, mereka, para artis itu harus berganti pakaian yang sopan. Apa kau tak malu, melihat penyanyi setengah telanjang itu. Hei, keluarga besar kita sedang berkumpul lho. Kau tak malu pada Meksi adikmu. Apa kau senang melihat Nanda, dan ponakan-ponakanmu yang lain melihat goyangan porno tersebut?”

“I-iya..!! Tapi…”

***

Rapat keluarga kemudian digelar. Mahen memaparkan lagi hal-hal yang dia tidak senangi dari pertunjukan itu.

“… Ini menunjukan kelemahan iman kita.” Kata Mahen setengah emosi mengakhiri kalimatnya. Mugil dan ibunya saling pandang. Bapaknya tampak bergetar menahan diri. Hampir dalam banyak hal Mahen selalu bertentangan dengan bapaknya. Laki-laki di atas limah puluhan itu biasa dipanggil Dukun oleh orang-orang. Mahen yang paling tak suka dengan panggilan itu.

“Sudahlah, kita ikuti saja kata kakakmu itu, Gil.” Ibunya kemudian bersuara.

Tapi bapaknya tidak setuju. “Kenapa harus meributkan soal iman. Inikan hanya hiburan. Biarkan sajalah…”

“Ini mengundang dosa ke rumah sendiri…” Mahen segera memotong.

“Kalau dia beriman tak akan dia terpengaruh melihat itu. Selama ini tak ada yang merasa kalau itu mengumbar birahi. Mereka tahu itu bagian dari pertunjukan dan bukan porno. Kamu tahu apa soal itu...”

“Bukan porno bagaimana. Orang jelas-jelas dia telanjang di depan umum.”

“Menurutmu, dia harus pakai jilbab? Kalau dia berceramah tempatnya kan di masjid.”

Mahen ingin bicara, tapi cepat-cepat dilerai ibunya. Perempuan itu kemudian menggiring suaminya menjauh. “Ndak elok bertengkar di hari baik ini.”

“Anakmu itu sudah disekolahkan jauh-jauh kok malah makin bodoh saja. Sudah besar di kota masih saja pikirannya seperti itu. Ini salah, itu salah, apa-apa salah.” Maki si Bapak.

Sementara, Mugil juga berusaha membujuk kakaknya yang tampak emosi itu.

Setengah berbisik, setengah memohon Mugil berkata, “Saya tahu pemikiran Abang akan bertentangan dengan keinginan Ayah dan yang lainnya. Tapi, ini kan hari istimewa saya. Abang tak ingin membahagiakan saya di hari istimewa ini?”

“Sekarang, terserah Abang saja bagaimana baiknya. Di sini yang paling tua kan Abang.” Mugil melanjutkan. “Kalau memang acaranya dihentikan sekarang, ya kita hentikan saja. Ndak apa-apa. …”

Mendadak ruangan itu menjadi lengang. Di luar terdengar suara genit berteriak pada penonton, “Masih mau digoyang sayang? Tapi goyangnya bareng-bareng ya, biar enak..”

Yogyakarta, 2008

(kado pernikahan Mugil dan Yeyen 10 Oktober 2008 )

Sindo, 26 Oktober 2008

Friday, October 31, 2008

cerpen

Menuju Pulang

Indrian Koto

Semakin jauh kau diseret perjalanan, semakin besar debar yang menimpamu. Matamu berpacu dengan laju. Di luar, dari kaca bis yang separuhnya dibiarkan terbuka— angin dan debu menerpa wajah dan kulitmu, menerbangkan anak-anak rambutmu—kau melihat segalanya begitu baru. Pohon-pohon manis yang tampak rindang, kampung-kampung santun dengan penghuninya yang anggun, petak-petak sawah dan gunung, rumah-rumah yang dipisahkan badan jalan, jalanan mendaki dan tikungan tajam. Setiap melewatinya, setiap kali itu pula kau ingin mengulang dari awal. Lagi dan lagi.

Semakin jauh, semakin kau terseret warna baru. Segala yang tampak menjadi begitu akrab bagimu. Jalan kecil dan sempit, tikungan dan belokan, bukit dan jurang dalam, kampung, hamparan padang, sungai jernih dengan batu-batunya yang hitam-tajam, jembatan kayu, sawah dan taratak, pondok dan bukit yang terkungkung kabut putih. Kau merasa begitu mengakrabinya, begitu mengenalnya. Setiap tempat yang rasanya begitu manis kau rasa sebagai akhir perjalanan. Kau merasa semakin terikat di tempat ini.

Bis tetap melaju, matamu semakin kuat menyapu. Selalu ada yang indah, selalu ada yang mendebarkan.

Setiap itu pula, kau ingin seseorang yang ada di sampingmu terbangun dan berteriak pada sopir, “Kiri, Pir. Kiri!” sebagaimana teriakan penumpang yang hendak turun. Tapi tidak. Tempat-tempat yang kau rasa sebagai puncak perjalanan ini belum juga tiba. Kau berdebar, di tanah mana kiranya bis ini akan berhenti, pintu yang mana pula kiranya nanti akan kalian masuki? Setiap pintu, kau lihat, selalu terbuka. Seperti menampung siapa saja dan mempersilahkan dirimu masuk dan tenggelam di dalamnya.

Kau tak berani bertanya. Kau tak berani mengusik debar hatimu. Dia seolah ikut membiarkan dirimu larut dalam debar semacam itu.

Setiap simpang, setiap belokan kau harap sebagai pemberhentian terakhir. Bagian lain hatimu tetap penasaran, setelah ini, di balik jalan ini, tersimpan kejutan apalagi? Adakah yang baru setelah ini? Uuh, perjalanan yang baru, selalu menyisakan debar dan kau yakin, kau tak akan begitu saja bisa melupakannya. Di tanah ini, segalanya serupa pekasih, serupa mantra yang membuatmu selalu merindukan apa pun, mengenang apa pun, dan mengajakmu selalu ingin pulang.

Kau melirik ke bangku di sampingmu. Dia masih tetap terpejam. Kau berpikir, jangan-jangan perjalanan ini seharusnya sudah selesai dari tadi. Di sebuah tempat yang tadi kau rasa begitu akrab, seharusnya di sanalah kalian turun. Tapi melihat ketenangan di wajahnya, kau meragukan itu semua. Sebagaimana dia bilang, “Ingatan tak bisa ditipu. Aku akan tahu di mana kita nanti berhenti tanpa perlu diingatkan. Dari aromanya aku tahu, sadang berada di kampung mana.” Dan kau yakin, dia tidak akan bisa ditipu rasa kantuk dan melewati halaman rumahnya begitu saja.

Tetapi bagaimana kalau seandainya benar-benar dia tertidur dan lupa akan tempat di mana seharusnya kalian berhenti? Dan itu bisa saja terjadi mengingat begitu lamanya ia tak lagi menjejak tanah ini.

Seperti membaca pikiranmu, ia menggeliat bangun. Membuka mata dan menatapmu. “Sampai di mana ini?”

Kau mengangkat bahu. Bagaimana kau tahu ini di mana, karena segala tempat benar-benar asing bagimu. Kau tak tahu bis sedang menuju ke mana. Kau tak sepenuhnya mengerti arah, meski pun kau tahu bis ini pasti mengarah ke Selatan. Tapi kau tak tahu di mana Taratak, di nama Lansano, di mana Surantih. Dan sekarang, di antara laju kendara, kau tak tahu tempat apa yang sedang kalian lewati ini. Tak ada petunjuk yang mampu membuatmu paham ujung perjalanan. Satu-dua tempat memang memiliki papan mana yang kecil dan kelabu. Kau tak bisa menjadikannya sebagai petunjuk. Kalau pun terbaca Tarusan, Pasar Baru, Salido atau Painan, kau tak tahu itu ada di mana. Dan Lansano entah berada di titik sebelah mana pula pada bagian jalan ini.

“Ngantuk? Tidurlah.” Katanya setelah sesaat melirik ke luar jendela. Setelah itu ia meluruskan duduknya. Dari sikapnya, kau tahu, dalam sekejab dia sudah mengenali daerah yang sedang kalian lewati.

Kau mengurungkan pertanyaan, “masih jauh?” Kau tak ingin debarmu berhenti sampai di sini.

“Bagaimana perjalanannya? Cukup melelahkan bukan?”

Kau menanggapi dengan senyum. Kau melirik wajahnya yang seketika tampak cerah. Rasanya ia jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya.

Kau merasa cemburu padanya. Dirinya seperti dilemparkan jauh ke masa remaja. Kau merasakannya sejak kalian meninggalkan terminal bayangan siang tadi. “Bagaimana mungkin sebuah kota tidak memiliki terminal?” Kau meledeknya tadi ketika kalian diseret-seret calo angkutan. Tapi dia tak terusik sama sekali.

Di bis, dia melupakan panasnya kota. Kaca bis yang dibiarkan terbuka tak cukup membuat tubuh kalian berhenti dari keringat. Tetapi dia, di antara hujan keringat masih saja bisa bercerita dengan riang, tentang perjalanan yang nanti akan kalian lewati; laut, gunung, kampung, sawah, gunung, laut, kampung, sawah gunung… Dia sama sekali tidak terusik dengan penjual bengkoang, ia seperti melupakan pedangang keripik balado, pengamen dan peminta-minta.

Suaranya tenggelam bersama dentuman musik yang diputar dengan keras dan mesin bis yang digas dengan kencang. “Beginilah cara mereka memaksa penumpang naik. Padahal mereka baru akan jalan kalau bis ini penuh.” Katanya. “Sejak terminal kami dipindah dan diganti plaza, sejak itu pula kami kehilangan sesuatu yang berharga.”

“Kota tanpa terminal,” katamu, “semakin memperlihatkan identitas kota ini; keras, kasar dan kurang disiplin.”

Dia hanya tertawa. “Sehabis ini, kau akan melihat laut dan semata-mata laut. Kemarahanmu akan digantikan rasa kagum.”

Kau tak bisa menebak apa yang ada di kepalanya saat ini. sebuah pulang, tentu memiliki hasrat yang tersembunyi. Tapi setidaknya dia benar, sepanjang jalan kau diusik pemandangan di luar jendela yang tak pernah kau temukan sebelumnya; jalan membentang di pinggir laut, teluk yang serupa danau, di mana ombak hanya riak kecil di celah batu. Tikungan, jurang terjal yang membuatmu merinding. Di bawah semata laut, batang kepala, perahu nelayan dan bis yang berselisih di jalan sempit.

Kau merasa begitu cemburu padanya. Mencemburui kepulangannya. Meskipun kau beserta, tapi kau ragu, apakah kau akan tetap muncul di antara bayang-bayang kampung halamannya? Ia sering menceritakan kampungnya padamu, tempat ia dilahirkan tumbuh dan dibesarkan. Tempat ia mengenal banyak perempuan.

Sebuah pulang, kau merasa seperti mengumpulkan serpih kenangan.

“Kenapa? Berdebar ya?” Dia bertanya sambil tertawa.

“Aku tidak bisa membayangkan suasananya.”

Dia tergelak. “Tentu saja kau akan jadi pusat perhatian. Bukan hanya karena kamu perempuan yang cantik. Orang baru akan disambut berlebihan.”

Ah, dia tak pernah tahu apa yang ada di pikiranmu. Dia tidak akan pernah tahu. Kepulangan yang tanggung. Ini lebih dari kerinduanmu pada sebuah tempat asing dan jauh. Lebih dari sebuah keinginan untuk bertamu.

“Kenapa melamun?”

Kau tersenyum. “Ya. Aku cemburu padamu. Pada kepulanganmu. Kerinduanmu pada masa lalu akan segera terobati.”

Dia menatapmu tak mengerti.

“Kau masih memiliki tempat untuk pulang. Tempat di mana kau tak hanya bertemu ayah-ibu dan menumpahkan rindu pada rumah. Kau masih memiliki tempat mengeja silsilah. Di tanahmu, bisa kau temukan jejak leluhur. Tempat yang masih bisa kau ziarahi berkali-kali.” Ucapanmu terdengar begitu pilu.

Dia mengusap rambutmu. “Tak mesti begitu. Banyak yang punya kampung halaman tapi tak berniat menengoknya. Dan aku juga tidak sedang pulang. Bukankah kita hanya sekedar singgah?”

Kau diam.

“Setidaknya kini kau punya alamat baru yang tak hanya sekedar kau hapal di kepala. Kau boleh merindukannya, mendatanginya dan menjadikannya rumah baru. Bayangkanlah kau menuju pulang, menuju rumahmu, menuju kampung leluhur.”

Dia mengambil tanganmu, meremasnya dengan lembut. “Aku pernah bilang bukan, nanti setelah kita menikah, ketika hidup kita lebih baik, kita akan menyusuri kampung halamanmu. Mengenali seluruh riwayat yang barangkali masih sisa.”

“Sudah tak ada yang sisa.” Ucapmu, nyaris tersedu. “Aku ingin menyalahkan Bapak yang tak berniat mengenalkan aku pada kampung halaman. Setelah aku besar dan ingin menyusuri garis keturunan, segalanya sudah tak ada. Hanya puing dan bangunan asing tertanam di sana. Tak ada makam leluhur lagi.”

Dia mendesah. “Kepulangan ini, semoga—dan itu harapanku—bisa mengenalkanmu pada kampung baru. Setidaknya kelak bagi anak-anak kita. Mereka akan belajar mengarang dan menulis cerita ‘Berlibur ke Desa’, atau ‘Berlibur ke Rumah Nenek’.”

Kau tersenyum lalu menyandarkan kepala di bahunya.

“Aku berdebar, sayang.” Bisikmu di antara berisik lagu-lagu Melayu dari tape bis yang menderu kencang.

“Aku juga. Aku berpikir tentang banyak hal. Rumah, keluarga, kawan-kawan…”

“Masa lalumu, juga?”

Dia tersenyum. “Tentu saja. Aku merindukan semuanya.”

Kau mendesah pendek. Jujur, tiba-tiba kau merasa iri. Kepulangannya adalah semacam balas dendam untuk sekian tahunnya yang hilang. Tentu akan disusurinya banyak hal sekaligus. Peristiwa-peristiwa yang berserak di mana pun nanti dia menginjak tanah. Ia punya tanah kelahiran, kampung leluhur, tentu dia memiliki banyak peristiwa yang bersisa di sana.

Dan dia, aduh, tidakkah para gadis yang sering dibicarakan padamu dulu akan ia temui pula kini. Gadis kampungnya sendiri, tetangga rumah yang manis. Mengajarkannya rindu dan berharap. Kalau pun mereka sudah berkeluarga tentu saja kesempatan bertemu itu besar. Bukan tak mungkin peristiwa-peristiwa manis akan berjatuhan satu-satu, merangkai kisahnya sendiri.

Kau mengingat beberapa nama yang sering dibicarakannya. Maria, Yuni dn Inof. Bagaimanakah reaksi mereka atas kepulangan kalian ini? Ah, ah, kau tak bisa menebak apa pun kini. Segalanya begitu penuh. Segalanya terasa penuh. Membuat debar jantungmu semakin kencang. Pulang, setelah hampir du tahun pernikahan kalian. Sebuah pulang yang entah bisa disebut apa.

Apa yang akan pertama kau lakukan? Kau kembali teringat roman-roman lama. Roman-roman yang sesekali kalian tertawakan. Entahlah, kali ini segalanya memenuhi perutmu, serupa bayi yang bersembunyi di baliknya.

Dulu, kalian pernah merencanakan sebuah pulang untuk bulan madu. Singgah di kampungnya selanjutnya menyusuri sisa riwayat keluargamu di ujung pulau. Tetapi kau sudah tak berniat melanjutkan rencana itu. “Sudah tak ada yang sisa. Kampung-kampung baru bermunculan menghapus riwayat lama.”

Tetapi demikianlah. Kalian akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Sebuah pulang yang kalian rancang begitu lama. Kau mengenal keluarganya dari cerita yang mengalir dari mulutnya. Dan kini, pada kepulangan ini, dadamu berdegup kencang, bagaimana reaksi keluarganya? Dan kalian sepakat untuk tidak mempercakapkan hal ini. Kalian telah menghabiskan banyak waktu membahasnya.

Dia menyikut bahumu. “Sudah sampai,” Bisiknya padamu. “Pir, kiri, Pir! Kiri!!” Dia berteriak lantang.

Bis menepi, bergerak pelan, kau berdebar lebih kencang.

Yogya, Mei 2008

jawapos, minggu 5 oktober 2008

Wednesday, October 29, 2008

HUmor

Orang idiot

Q : Bagaimana membuat orang idiot tertawa pada hari senin?

A : Ceritakanlah sebuah humor pada hari minggu.

Tuesday, October 28, 2008

kalau aku nilis gini ada yang berkunjung gak ya?? cek-cek aja

perkosa, enak, nikmat, jorok, porno, saru, kasar, gila,
adik, tente, ponakan, mama, papa, semua baik-baik saja, baik, sehat.
tetangga, teman, cewek, sma, lugu, gratis, banyak banget deh
gadis, janda, pembantu, tukang kebun, satpam, semua manusia lo.

2935 pengunjung hari ini.

tambah lagi nih:
enak, ooh..!!, aku jatuh. aku gak tahan, pegel nih berdiri terus. basah nik, ujan-ujanan.
liar banget nih imajinasi. masukin.. dong motornya... pelan-pelan dong jalannya...

kakak iparku orangnya baik. sepupuku banyak banget. kisah-kisah incest (inses) masa sih ada?

perawan. dijilat dong es krimnya.

bla.. bla.. bla..

susah banget sih mancing orang biar baca blog ini...

Monday, October 27, 2008

mau diapain ya blog ini?

ini adalah hari sumpah pemuda. saya tidak tahu apakah hubungannya dengan tulisan saya ini. apa yang ingin saya tulis di sini ya? bagaimana aku menuliskannya?

aklu itu penulis pemalas yang tak terlalu paham dengan teknologi dan selalu berhitung dengan kantong jika ke warnet. tetapi saya mempunyai beberapa blog yang tidak jelas ujung pangkalnya. ini misalnya, kayaknya gak ada yang tahu dnegan keberadaan blog ini sama sekali.

nah aku harus bagaimana? apakah aku harus menghapus blog ini saja? atau saya mengisinya dnegan puisi dan catatan yang lain? uh, siapa yang mau baca tulisan-tulisan saya.

atau saya akan menulis seperti diari di sini.

di luar hujan. siang ini hari selasa. aku dari kampus.. bla..bla.. bla.. haruskah aku menulis semacam ini, sementara saya adalah seorang pemalas mencatat sesuatu sifatnya monoton dan harian.

sial gara2 baca blog http://sekelebatsenja.blogspot.com/ yang saya bawa pulang kemarin saya menjadi ingin menuliskan sesuatu sepanjang hari. tapi apa?

atau saya akan menulis cerita singkat di sini?

masalahnya siapa yang akan mengunjungi blog saya ini?

dasar pemuda yang gampang kalah saya. untung saya tidak hidup 80 tahun yang lalu.

tapi kalaus aya hidupdi zaman itu apakah saya akan memikirkan hal ini juga?

Monday, August 25, 2008

Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 09:
Gerobak yang Mengusung Beragam Makna




Judul : Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 09 Ratusan Mata di Mana-mana
Penerbit : Akar Indonesia
Penulis : Martin Aleida
Yanusa Nugroho
Frans Nadjira
Shiho Sawai
Gde Agung Lontar
Harris Effendi Thahar
Mezra E. Pellondou
Hery Sudiono
Fahruddin Nasrullah
Zulkarnain Ishak
Kiswondo
Tebal : 182 hal +xvii
Harga : Rp 38.000

Agustus ini, Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) terbitan Yayasan Akar Indonesia kembali terbit. Edisi yang ke sembilan ini berisi delapan cerpen dan tiga esai sastra. Dibuka dnegan cerpen Pohon kunang-konang karya Frans Nadjira seorang penyair, cerpenis dan pelukis. Martin Aleida menulis cerpen Ratusan Mata di Mana-mana yang sekaligus menjadi judul dari JCI kali ini. Martin menulis cerpennya seperti sebuah catatan harian yang mendiskripsikan perihal-perihal sederhana tentang manusia. Martion seperti mendedahkan biografinya dengan narasi yang lembut dan tokoh-tokoh nyata. Sebuah cerita yang menggambarkan ketika ia bekerja di Majalah Tempo.
Mezra E. Pellondou, menulis cerpen Praiyawang yang berseting Indonesia Timur, latar yang menjadi sentral hampir di semua karya-karyanya. Sebuah khasanah yang manis dan mungkin kurang banyak tergaraps elama ini. disusul pula oleh Gde Agung Lontar dengan cerpen Wayang Bangsawan yang mengambil tema Melayu dengan tokoh klasik, Hang Tuah.
Ada Fahrudin Nasrulloh dengan Tiga Kisah dari Giri, sebuah upaya elsploratif untuk memunculkan tokoh-tokoh yang ‘terpinggirkan’. Tentang seorang Sunan Prapen yang tidak diketahi banyak orang. Seorang tokoh yang kembali dihidupkan lewat imajinasi ataukah dia hanya hidup dalam imajinasi si pengarang, saya tak tahu. Dalam khasanah islma Jawa semacam ini Fahrudin memang memiliki referennsi yang lumayan kuat.
Ada Hery Sudiono dnegan Perkabungan Arloji-nya seorang penulis dan pelukis dari Kalimantan Selatan yang menetap di Yogyakarta. Disusul yanusa Nugroho dengan cerpennya yang luamayn pendek tetapi manis dan cukup menegangkan yang berjudul “Kupu Malam, Anjing Kuris dan Udin”, lalu ditutup oleh cerpen Zulkarnain Ishak, Derap Kaki Ribuan Kuda yang mencoba mendongengkan kita dengan fakta-fakta yang dibalus dengan kestuan bahasa yang halus.
Tiga esai berikutnya melengkapi Jurnal cerpen indonesia ini. dimulai dari Haris Efendi Thahar yang menulis tentang Jejak Sejarah PRRI dalam Antologi Cerpen Pergolakan Daerah Soewardi Idris. Disusul oleh Kiswondo Seorang Peneliti di Uiniversitas Sanata Darma dan terlibat di beberapa LSM yang menulis Sastra Bersaksi: Korban Peristiwa 1965 dalam Empat Cerpen Indonesia yang merupakan studi awalnya yang berpatokan pada 12 cerpen. Hanya saja dalam tulisan ini dia hanya mengambil titik pada empat buah cerpen. Selanjutnya ditutup oleh Shiho Sawai dalam sebuah esainya Potensi Teleopoiesisdan Marginalitas Ganda Transnasional dalam Karya Burih Migran Perempuan di Hongkong. Sebuah kajian menarik dari seorang Shiho yang melihat Buruh Migran Perempuan Hongkong (BMP-HK) sebagai sebuah komunitas sastra yang perlu diperhitungkan keberadaannya.
Demikianlah. Sebuah percampuran rasa yang manis dari ketercampuradukan gaya dan tema dalam kesastraan indonesia.
Dalam pengantar redaksinya, Raudal Tanjung Banua menuliskan bahwa edisi merupakan “keberagaman yang konkrit dari teks serta memperlihatkan fenomena di sekitar sosiologi sastra melalui tiga esai yang dimuat.” Dalam pengantarnya, Raudal menggambarkan kegamangan atas pembicaraan sastra yang lebih banyak menyentuh masalah sosial pengarangnya nitimbang perhatian pada estetika yang diusungnya.
Dan Raudal mencoba menawarkan sebuah analogi untuk membaca cerpen Indonesia yang diandaikan dalam gerak sebuah gerobak. Teori semacam apa pula itu? saya rasa anda harus membacanya sendiri dan menikmati bingkisan manis ini di ruang yang cukup pribadi. Setelahnya anda bisa menerima sekaligus menolak. Bukankah begitu hakikat keberangaman?
Untuk pemesanan Jurnal Cerpen Indonesia atau buku-buku terbitan Akar lainnya bisa melalui kontak 08122729237

Tuesday, July 29, 2008

tubuh api

tubuh api

tubuhku adalah api

yang berhadapan denganku

bertarung dengan matahari

diriku menyala-nyala

setiap peristiwa, setiap ingatan

terbakar di kepalaku yang sempit

dadaku telah lama hangus

tulang-tulangku adalah gugusan kayu api

darahku sumber kemarahan

yang terpancar di setiap kata dan tindakan

jika kau menatap mataku

kau akan terbakar oleh amarah

yang tercipta dengan sendirinya

sampai kau tak ada dalam diriku

tubuhku adalah api yang penuh marah;

jari-jari, kuku-kuku, rambut,

leher,cuping telinga, hidung, gigi dan lidah

anak-anak api yang menyambar-nyambar

kau yang bermain-main dengan korek dan minyak

bersiaplah untuk terbakar

tinggalkan aku sendirian

atau kau akan musnah bersama diriku

api ini adalah dendam

yang tersusun sedemikian rupa

betapa tipisnya batas antara rindu dan dendam

betapa dekatnya sayang dengan api

kau akan terbakar

setiap kali menatapku, kini

januari 2008

Wednesday, July 23, 2008

sajak jalan lapar

Jalan Lapar


aku tumbuh dari rasa lapar

serupa jalan, menelan apa saja

dan tak pernah memulangkannya


apakah aku yang semakin tumbuh besar

ataukah jalan ini yang semakin tua

dan kurus, hingga belokan dan tikungan

bukan lagi rahasia tersembunyi?


kelaparan memulangkanku ke pangkal jalan

aku merasakan tubuhku kuyup

kehilangan. begitu banyak yang diambil dariku

dan tak pernah dipulangkan

kenangan, pohon-pohon tinggi

yang menutup beranda serupa belantara

tempat sembunyi para bocah

dari kehilangan dan keberangkatan

2007

pulang kampung

Pulang Kampung

aku tertidur seperti tenggelam
dalam pusara ingatan
segalanya seperti dibangkitkan
cenayang dan jin laut
serupa tenung, menghapus segala kenang

di sini karang sudah lama padam
dan laut serupa silsilah
terus menukik dan menghantam apa saja
ingatanku tumbuh
seperti batang jati
di petak ladang yang hilang jalan

dalam tidur kutemukan
wajah-wajah tak kukenal
dalam kecemasan yang sama
mereka menghitung dunia dari dalam
dompet mereka yang robek
tangan mereka hitam oleh getah gambir
yang sepanjang hari mereka akrabi liat licinnya
keringat mereka seperti hujan di dadaku
lalu tumbuh sebatang jagung dengan
malas dan malu-malu
mereka menatapku dengan asing
dan kesunyian yang dalam
di mata mereka tumbuh lampu-lampu
dan bendera asing, lalu bermunculan
banyak iklan; motor, celana-baju baru dan
lebaran yang lewat dengan sia-sia
handphoneku berdering, mereka
menggigil semakin nyaring, menyanyikan
amsal-amsal kota jauh
tentang selingkuh yang sentimental
serupa ratok, yang didendangkan begitu murung

aku terjaga dari tidurku yang singkat
tapi mereka, yang bermain dalam mimpiku
tak bisa pulang
mereka bergelantungan di pohon nilam, di batang
durian, di cabang rambutan dan seluruh akar tubuhku
dari jauh, mobil-mobil panjang dan besar
menggilas mereka, sampai tak satu pun
bisa mengingatnya. yang lain bergelantungan
lalu menghapus dirinya dari pohon silsilah
aku tak tahu, batas antara tidur dan jaga
diam-diam merasa kalah dan tak hendak
bangun lagi.

lansano, oktober 2007

Wednesday, July 9, 2008

sajak jelek

orang rantai

di kota ini, kau mungkin mengingatnya
sedikit saja
di tempatmu berdiri barangkali
keringat mereka jatuh, mengais tanah dan
rantai panjang yang berat
menyeretnya, seperti melepas nasib buruk
dan hidup yang terasa sia-sia

bisa jadi kau lupa
dan tak perlu mengenangnya
sebab hidup tak pernah mundur
kita cukup mengenangnya sebagai sebuah sejarah
kota dan tanah jajahan

di kota tambang, yang kau tak bisa singgah
kau akan mengingatnya
menyeret tulang dan nasib
menggaris tanah dengan rantai yang berat
dan anak-anak menyorakinya
sebentuk hiburan kampung koloni

“orang rantai, orang rantai…”

kau ingat sepotong-sepotong
padahal barangkali, di tempatmu berdiri
keringatnya jatuh, tubuhnya jatuh
ada doa yang gagal dikirimkan

di kota tua, orang-orang mengingatnya
sebagai sebuah sejarah
yang tercatat dalam panduan pariwisata
dan dari tempatku berdiri, sebagai pengelana
dan orang buangan, lamat kudengar
suara bisikan yang seperti mengejar dan memburu
setiap langkahku

“orang rantai, orang rantai…”


Yogya-Padang, 2007-2008

Wednesday, June 25, 2008

Pesan Singkat Seorang Pemuda yang Lama Merantau di Jawa Kepada Ibunya di Kampung Halaman

Mak, akhirnya
aku sampai jakarta.
Jakarta, mak. Jakarta

Juni 2008

Friday, June 13, 2008

Sepasang Maut

Sepasang Maut

kami dikejar-kejar bayangan laut yang menyimpan maut

setiap sudut ruang dan kegelapan

menyisakan takut dan rasa kalut

di mana peristirahatan paling nyaman

jika kamar begitu menakutkan?

kami yang suatu pagi dibangunkan gemetar bumi

tak hendak menjadi saksi

karena inci demi inci tubuh kami mulai mati

oleh haru dan rasa nyeri

waktu beringsut

menyeret kami pada putaran yang itu-itu juga

: bau mayat dan barisan panjang pusara

begitu saja kami dijegal. mimpi kami dicekal, dan rencana-rencana

menjadi batal. tak ada yang berniat menggali kubur,

tak ada yang berkehendak mengambil cangkul

kami hanya digayuti rasa lelah dan capek menyaksikan

banyak peristiwa penting dan tak penting lainnya

menumpuk, membukit, tumbuh serupa cerobong

mengalirkan larva dan pijar api

begitu-begitu saja.

sebagian kami memilih lembur

sebagian meminum obat tidur

sepasang pengantin lelap oleh haru biru

subuh begitu bening

penuh dengan rencana dan harapan

pagi semestinya suka cita

yang riang. di mana matahari membuncahkan berkah;

kami bekerja dan anak-anak sekolah

ini pagi lain yang tak kami temukan dalam mimpi sekalipun

bahkan sekadar ingatan pun betapa enggan

ia datang tanpa mengetuk pintu

menggantungkan kematian di tiap dinding

sejak kini, rumah menjelma hantu

kamar serupa maut yang mengintai siapa saja

tempat yang paling aman sekalipun

menyimpan kesumat dan bara dendam

oh, sepasang pagi yang menjelma sepasang maut

mengintai kami dan penjuru kota

kami dikejar-kejar bayangan laut

yang menyimpan maut

setiap sudut ruang dan kegelapan

menyisakan takut dan rasa kalut

Yogyakarta, 30 Mei 2006

Sunday, June 1, 2008

sajak

Stasiun; Sebelum Maut

pada keberangkatan terakhir
terasa riuh benar suara rumah
menyanyi di gendang telinga
matahari tengah menghabiskan pelurunya
hingga kota melepuh dan telanjang

seorang lelaki menempelkan sisa gerimis
di dinding stasiun
"selamat tinggal kesepian." teriaknya
dengan riang
stasiun tampak muram
orang-orang serupa penziarah yang menunggu

keranda.
"kubawakan kota untukmu, kekasaih
yang kukaitkan di kantong celana."
jerit seseorang yang lain, terlebih ringkih

betapa malang, siang yang sesak
nafas dan sendirian
setiap kata adalah kemuraman
yang kurang ajar
dan kemelaratan menorehkan
keberangkatan begitu saja
"akan kucium bacin keringatmu, ayah."
jerit yang lain tak mau kalah

para penumpang saling merebut mimpi
berharap jaga melemparkannnya ke depan pintu
dan seorang yang berbahagia itu
merasa menuju pusara ibu

diam-diam telah disiapkan untuknya
sebuah keranda
dan penziarah telah menunggu
di depan pintu.

rumahlebah, yogyakarta, 2006

sajak indrian koto

Ziarah Laut

/a
dengan sebutir kampung halaman
kutanam di dalam dompet
kutunggangi peta usang
yang terhampar di tanah lapang

kukendarai laut
hingga rumah tampak melepuh
kurapal jejak pendahulu
yang tertinggal bersama buih
hingga tubuhku menjelma laut
melulu biru

bukan laut ini benar yang keramat
hanya pelayaran sedikit nakal
memutar arah dan kemudi
juga angin liar yang mencabik cadik

kutemukan kampung seberang
tanpa jejak pendahulu
tanah yang semerah darah
serupa kafan di kubur para leluhur
panji-panji mengepul mengingatkanku
pada tungku ibu
yang asapnya memanggilku pulang

sebutir kampung halaman
yang kutanam di dalam dompet
terus saja tumbuh; sepetak ladang, sederit ranjang,
sisa batuk bapak pada masa kanak
yang tertempel di kamar mandi
layangan mengapung di atas rumah, bau kopi

dan daun nilam
usap lagi punggungku dengan tanganmu, ibu
sampai melepuh
sampai yang tertinggal hanya sebaris kantuk

dan aku menemukan tubuh
mengapung di tanah asing


/b
di mana selatan?
barangkali matahari dan cuaca
bersepakat
menipuku dengan arah angin
hingga aku lupa
masa kanak yang berserak
aku belajar menjala mimpi
memungut dahaga, meracik rindu –serupa bumbu
dan kesiur angin hanya nafas ibu

/c
alangkah sukar merapal jalan
pulang hanya sepetak ingatan
yang mulai rimbun
aku mendaki samudera
membaca sebiji pasir sebagai isyarat
leluhur

di sepanjang pelayaran
pulaupulau tenggelam
hingga tak sebiji pun kutemukan bau rumah
dan amis pantai
merentang layar, aku seperti menziarahi
kampung halaman yang bertumbuh
di dalam dompet

duhai, di mana rumah, sepetak
ingatan masa kanak?

rumahlebah, 2006

Thursday, April 3, 2008

Sajak-sajak

Tangan Rindu


aku menyentuh tangan kurusmu

wahai perempuan yang pandai memasak

luka. jemarimu runcing serupa rindu

yang disengai di dalam wajan. menjadi

rahasia api tungku, penyedap masakan

yang kau tekuni benar asamgaramnya.

jemarimu tempat luka dan rindu

bersarang. kau lemparkan bersama irisan

bawang. matamu, kesunyian makammakam

berabadabad menziarahi masalalu

yang tak kunjung jadi kekupu

tanganmu meruncingkan nasib buruk

takdir seorang perempuan

berakrab dengan bara dan pisau daging

tangis dan bau bawang, asap dan minyak goreng

di dapur, tak kunjung matang itu rindu

kau hidangkan lukamu pada banyak orang

sebentuk rahasia yang mesti mereka telan.

kau menanggung rindu pada kampung jauh

rindu yang seruncing garis tanganmu

tumbuh, bercabang dan memunculkan tunas baru

“pegang tanganku, sibaklah belukar dan

semak tubuhku.”

sepasang tangan yang serupa karang

bau dapur meruap bersama sabun dan

tangis yang tertampung di sana. betapa rindumu

menumpuk, tinggi serupa gunung.

tapi aku tak akan bisa menyibak belukar

tanganku terlalu mentah untuk menjadi

perambah dan membuka lahan, bahkan

untuk di dapur sekali pun

rindumu, mungkin jadi hujan, jadi batu

jadi pulau, jadi pohon, jadi dunia

imaji bagi anakmu yang bertumpuk

bersama sejumlah amsal. tangan yang

nanti seseorang akan memecah

hutan lebatnya.

lansano, oktober 07

Tuesday, January 29, 2008

Kawan Purwana


Mengenang Seorang Hilang: Purwana A. Syaputra

Sudah lama aku ingin menulis ini. entah kenapa aku selalu gagal menuliskannya. Bukan apa-apa sebenarnya, kadang rasa malas dan sesuatu yang lain membuatku menunda ini semua. Tak apa.
***
“Bagaimana perkawinan di tempatmu. Samakah dengan kasus Situ Nurbaya?” Begitu dia bertanya ketika kami pertama bertemu. Pertemuanku yang pertama dengannya, kunjunganku yang pertama pula ke Kutub, markasnya, pertama kali pula aku mengenal namanya: Purwana.

Kurasa aku tak harus menjawab itu. aku lebih sibuk memperhatikannya. Ia menggunakan kacamata yang lumayan tebal, penampilannya serius untuk orang seukurannya. Masih muda tentu saja. Di tangannya (tepatnya di pangkuannya) terdapat banyak buku yang antri minta dibaca. Ditenteng kemana saja.

Dia senang mengenal orang baru, cepat akrab dan blak-blakan, itu yanga ku tangkap darinya mula-mula. Pertemuan pertama itu telah diisi oleh obrolan kami yang sesekali dilarikannya ke topik serius. Sepertinya ia penyuka kebudayaan. Lalu dituturkannya, di tempat dia, Riau sana, orang-orang banyak menggunakan bahasaku. Bahasa Minang. Dia juga bisa, katanya. Dibuktikan dengan pertemuan kami berikut-berikutnya dia sering mengucapkan satu-dua patah bahasa kampungku.

Lalu kami cepat akrab. Mahwi (air Tawar) yang semula mengenalkan aku padanya, pemuda bernama Purwana ini dan Kutub khususnya. Di sana ada Gugun Al Ghuyonni (benar gak nih?), Ahmadun A.S, Anam Khairul Anam, Profesor, Ridwan dan lain-lain. hubunganku dengan Purwana semakin akrab. Ia orang yang suka menemani setiap langkah. Sejak itu di mana ada aku, Mahwi dan Muchlish, sepertinya Purwana juga ada. lalu kamis ering berkunjung ke kos Mahwi yang berada di dekat ring road Selatan. Ramai juga. dan Purwana mulai bercerita soal novelnya yang sedang dan akan digarap.

Begitulah, sesuai pergerakanw aktu kami ‘menggelandang ke Selatan’ ada Ibed di sana, ada Haris pula, ada Iming alias Muslimin. Buka angkringan sampai ia pindah ke Utara dan tak lama aku pun menyusulnya. Kuliah di kampus UIN.
***
Aku tak ingin menulis banyak hal. Aku hanya diserang kehilangan. Purwana yang suatu ketika menghilang dari kami, kawan-kawan Poetika yang sering dirisaukannya. Dia sering bercerita soal kegamangan, kekawatiran dan sebagainya pada Poetika dan kami khususnya. Dia tak salah juga, terbukti kami sempat ‘renggang’ dan melakukan kerja sendiri-sendiri. tetapi Purwana tak muncul-muncul. Juga di koan-koran.

Purwana Saputra namanya, Purwana A. Syaputra tepatnya. Tetapi dia juga enulis namanya dnegan Wanadi Wana Putra, Wanahadi dan sebagainya. Dari kabar yang kudengar dia masih berada di Yogya dan daerah yangs ama. Tapi betapa gagapnya akud an kawan-kawans etiap kali hendak melacak. Aku tak tahu, dia saedang bersembunyi, menghindari diri atau memang tak mau bertemun kami. Tetapi kami, kawan-kawannya tentu masih berharap dia menampakkan wajah dan menyapa kami seperti biasa, “Ye.. gimana, gimana…”

Kadang kami berfikir, suatu waktu kami bertemu dia saat karyanya sednag bicarakan orang, entah esai atau novelnya. Barangkali dalam pertapaannya ini dia sedang menggarap sebuah mahakarya dasyat di mana kami kelak hanya bisa menelan liur saja.

Dia menghilang, itu yang aku tahu. Buku-bukunya masih ada di kamarku, ak dans egala pemberiannya masih kuisimpan dnegan baik. Suatu waktu, aku yakin itu, dia akan datang lagi dan bercakap banyak peristiwa.

Kehilangannya, adalah kehilangan seorang kawan. Dan ak perlu mengenangnya.

Wednesday, January 23, 2008

Catatan Pulang Kampung

Berapa Nomor Handhphonmu?

Tiga tahun enam bulan kemudian aku menuju pulang. Sungguh, aku merasa cemas. Apa yang kira-kira akan aku lakukan di kampung sepanjang kepulanganku ini? masihkah aku bisa melanjutkan obrolan di lapau kopi, mengulang peristiwa lampau, saat di mana aku masih bagian dari struktur masyarakat yang ada. Mempercakapkan lagi soal jenis motor terbaru, mengenal perempuan yang lewat sepanjang sore di depan rumah undo —markas kami, para anak muda? Masihkan aku bisa mengikuti percakapan verbal seputar orgen tunggal, gadis kampung tetangga yang menjadi pujaan hati para bujang, berisik cinta remaja dan mengingat peristiwa-peristiwa kecil lainnya? Kupikir waktu tidak pernah diam, kaku dan monoton. Sepanjang waktu ada saja peristiwa baru yang diciptakan.

Aku tahu, sebagian kawan-kawan seusia, maupun yang lebih tua, sudah menikah dan memiliki anak. Sebagian yang lain, para tetua kampung dan orang tua, sesepuh, sudah lebih dulu berkubur tanah. Apakah masih bisa aku bercakap perasaian dan peruntungan dengan mereka? Apakah aku masih akan sok tahu soal kisaran angin, laut yang mulai bergelombang besar, ramalan tentang gempa bumi dan laut pasang. Ataukah aku akan membincangkan dengan soal kapal dan perahu, biduk dan boat, ikan dan hasil laut? Atau soal perjalanan menegangkan mengadu nasib di Malaysia?

Perihal-perihal kecil dan sederhana sebenarnya. Tapi sungguh, ini membuat tubuhku menggigil juga. anak-anak beringsut tumbuh, yang kecil beranjak besar, yang remaja menuju masa yang lebih serius. Mereka yang dulu masih kanak, kelak akan berubah jadi pemuda gagah dan bisa jadi aku akan terbata menyebut nama mereka. Bukankah sepanjang tahun-tahun keberangkatanku, tak banyak kabar yang bisa kudapati soal kampung? Ini bukan tanah seberang, Malaysia, yang sepanjang hari, sepanjang minggu akan ada saja satu dua kawan yang datang dan pergi. Menjadi imigran gelap dan pulang kampung. Tentu mereka lebih beruntung, setidaknya mereka yang ada di Malaysia itu, akan selalu mendapat kabar baru dan tak sungguh-sungguh alpa dengan peristiwa apa pun juga. bahkan hal-hal remeh sekali pun.

Sebelum aku pergi, kampungku sudah bertahun-tahun menikmati cahaya listrik, setiap rumah nyaris memiliki tivi dan parabola. Lama kemudian mereka mulai memiliki digital, menggantikan parabola. Anak-anak muda menghafal lagu-lagu populer Indonesia dari VCD bajakan sefasih mereka mempercakapkan artis dan bintang sinetron. Generasi di bawahku tak lagi mengenal main kajai, main kelereng, main batun, main galah, main genggong dan sejenisnya. Mereka sudah mengenal play station. Lihat, di kampungku yang tersuruk di sepanjang Pesisir pantai Selatan Kota Padang, empat jam perjalanan dari pusat kota, mengetahui tiap inci perihal menghebohkan di luar sana. Mereka juga memodifikasi motor mereka, anak perempuan dan laki-laki mengikuti trend berpakaian, memakai farfum ala artis yang dijajakan di ruang tamu rumah mereka.

Jika kini aku pulang bukankah semakin banyak yang sudah berubah? Aku sudah lama tak mengirim surat ke kampung, barangkali aku lupa cara menuliskannya. Beberapa kali aku lebih sering berkomunikasi lewat handphond, pesan-pesan singkat yang tak terlalu masuk ke hal-hal yang sederhana.

Kupikir kampungku dengan budayanya yang manis dan ranum itu sudah lama bergeser. Kukira sejak kabel-kabel hitam itu melingkar jauh dari entah kampung mana menuju kampung mana pula. Kami, aku dan kawan-kawan seangkatan masih ingat, ketika tiang-tiang beton itu mulai berdiri di halaman rumah, peristiwa baru akan segera dimuali. Benar saja. Tak lama, kami tidak lagi menggunakan suluh atau obor sebagai penerang jalan ketika pulang mengaji. Cahaya listrik yang berkilau di setiap tiang cukup menerangkan jalan dan halaman rumah. Kami mulai meninggalkan permainan sederhana menjelang kantuk datang; bermain batun, main petak umpet atau kejar-kejaran di antara cahaya langit dan lampu minyak.

Sepanjang malam kami mulai ritual baru sehabis mengaji. Berjalan beberapa kilo ke Selatan untuk melihat aksi Yoko di film seri mandarin Return of The Condor Heroes. Saya mulai mengikuti seri-seri aksi Andi Lau yang memiliki sebelah tangan dan kisah cintanya yang rumit. Sepanjang jalan pulang kami akan menyanyikan thema song serial tersebut, sesekali menghapal jingle iklan-iklan yang ditayangkan. Serasa kami tidak jauh beda dengan anak-anak kota. Kami mengingat bermacam merk makanan ringan dan minuman. Mengetahui jenis bumbu dapur, mie instan mana yang lebih keren ketika dibeli.

Minggu adalah hari pasar. Jika waktu-waktu belakangan aku bisa melihat aksi Jason, Kimberly dan Jack dalam pertarungan mereka melawan Repulsa di salah satu rumah di tengah pasar. Tokoh-tokoh Power Rangers ini sudah kuhafal betul dari majalah Bobo bekas yang kubeli nyaris setiap minggu. Sekarang aku bisa menontonnya. Aih, rancak bana.

Biasanya di pasar kami akan melihat dan menemukan banyak makanan instan yang kami lihat di televisi. Memakannya, dengan gaya yang nyaris sama dengan apa yang dilakukan penjaja makanan di ruang tamu itu. Maka, untuk sebuah eksistensi, kami sering menyimpan bungkus makanan yang diiklankan dan membawanya ke sekolah untuk dipamerkan pada kawan-kawa. Biasanya akan ada saja yang bertanya, “enak tidak?” tentu ada yang dengan sinis meresponnya, sebentuk rasa iri, tentu saja.

Tetapi itu belasan tahun lalu. Dan waktu berpusing dnegan cepat. Aku tak pernah sanggup mengimbanginya.
***
Dari Yogya saya sudah menyiapkan kartu Telkomsel, sebentuk kekhawatiran kalau-kalau nanti di sana tak akan ada sinyal xl. Mengingat, baru beberapa kota-kota besar saja yang dilewati jaringan seluler itu. nitimbang yang lain, jelas Telkomsel memiliki jaringan hampir di tiap kecamatan provinsi. Setidaknya di kotak.

Aku mulai merasakan ada yang berubah sejak dari kota. Bukan hanya soal harga pulsa yang lebih besar 20% dibanding Yogya, tetapi untuk makan pun aku merasa agak aneh. Bayangkan, di Yogya untuk makan dengan daging, 5000 saja sudah cukup. Itu di rumah makan Padang. Tetapi di rahim sendiri, aku harus mengeluarkan uang 7000 untuk makan ikan laut.

Sepanjang jalan pulang aku mulai diliputi rasa khawatir, apa yang akan kulakukan sesampai di rumah? bagaimana respon keluarga besar dan kawan-kawan? Aku membandingkan kepulanganku dengan kawan-kawa yang lain, yang berangkat ke Malaysia. Tiap kali mereka pulang kampung akan ada saja ‘pesta’, sekedar bagi-bagi rokok dan membeli beberapa botol minuman. Sementara aku? Uangku sudah habis ketika sampai di Jambi. Aku sempat berfikir, apakah harus singgah di sini dulu, mencari pnjaman pada seorang kawan, Dimas, sastrawan senior di kota itu sembali berbincang soal fenomesa sastra di sana dan perihal acara kongres sastra yang akan berlangsung bulan Juli nanti di sana. Ah, tak usahlah. Berapa lagi ongkos yang aku butuhkan untuk naik bis lagi. Kalau pun sekarang uangku habis, yang paling penting hanya soal makan. Malam ini, kalau aku kuat puasa, saat itu memang ramahdan, tetapi di jalanan, di mana perutku tak tahan tanpa air putih dan obat mual, aku tak melaksanakan ibadah wajib tersebut.

Di Padang, aku sempat menginap dua malam. Kebetulan ada acara sastra di Unand, dan teman-teman sastra di sana, meminta aku dan seorang kawan yang ama-sama mudik untuk ikut acara mereka. Sekalian silaturahmi. Dan ongkos pulangpun akhirnya tak jadi soal.

Dari Padang ke kampungku, membutuhkan waktu sekitar empat jam perjalanan. Aku masih meduga-duga apa yag hendak kulakukan di rumah. dan memasuki perbatasan kabupaten, hpku kehilangan sinyal. Tuh, kan. Untunglah aku memiliki kartu cadangan.
***
An aku menemukan kampung yang sedang berbenah. Tidak ahanya Telkomsel, ternyata di kampungku juga berdiri tower Indosat dan Xl. Bayangkan, kecamatan kecil ini, yang jauh dari ibu kota, membentang dari selatan Kota Padang, juhuh jamlebih perjalanan, hanya di kecamatanku ada tiga tower dari tiga operator sekaligus. Bahkan di ibu kota kabupaten pun, hanya ada sinyal Telkomsel satu-satunya. Ada apa sebenarnya? Mengapa kecamatan kecil yang terdiri dari beberapa kenagian ini saja?

Aku memang menemukan sisa gempa di tiap sudut rmah. Retakan-retakan dinding, atap yang rubuh, pagar yang ambruk. Tetapi yang lebih dasyat, hampir setiap anak muda menenteng Hp, kokia jenis kotemporer yang aku tak paham. Di mana fasilitasnya selalu ada musik dan video. Oleh-oleh dan kiriman tanah seberang, tentu saja.

Ketakutanku terjawab juga, satu dua anak muda mulai bertanya lirih, “berapa nomor hapemu,Uda?” sekali dua mereka melirik soni ericsonku yang jelek itu dan berkata, “Ada lagunya, ndak?”

Inilah yang terjadi kemudian. Ternyata operator seluler pun paham, bahwa di daerahku yang kaya ini gaya hidp menjdi kepentingan utama. Dari dulu alah. Pola hidpu mereka sudah mapan dan matrealistis. Segala jenis motor ada. Vario dan Mio jadi identitas saat ini. Anak muda tidak keren tanpa itu.

Surantih, kecamatan yang memiliki hasil laut terbesar di kabupatenku, bahkan mungkin untuk Provinsi. Muara sungai di penuhi bagan penangkap ikan. Ikan teri dari kecamatan ini terkenl di provinsi tetangga, Pekanbaru, Riau. Bahkan juga di ekspor ke Singapura dan negara tetangga lainnya. Di luar itu, perebunan merupakan penghasilanyang tak juga sedikit. Mereka menaan sawit, nilam, jati, gambir, getah dan tanaman tua lainnya agar bisa dipanen sepanjang tahun. Ketika aku pulang kebaran ini, anak-anak muda memiliki penghasilan lebih dari 30 ribu perhari hasil panen gambir.

Gaya hidup yang tinggi dan kebergantungan mereka kepada modernitas yang tanpa saringan itu memiliki sisi yang berlawanan. Satu sisi kemapanan tradisi ala kampung dengan segala keluguannya. Sisi lainnya adalah padanan pada dunia luar yang negatif. Dunia mereka adalah dunia selebritas, dunia infotaimant.

“DI Yogya ketemu Sheila on 7 Ndak? Pernah liat konser Ungu?” Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku tersentak. Betapa dunia rasanya terasa sangat pendek rentangan jaraknya. Menreka mengikuti dunia hiburan dnegan antusias yang luar biasa. “Kami pernah nonton Peter Pan di bandara Tabing. Masa di Yogya ndak pernah nonton konser? Payah.” Kata mereka. Benarkah aku yang payah? Aduh, aduh.

Kembali ke Hp. Ini menjadi penting karena status di hadapan masyarakat dan kawan-kawan seusia. Kulihat, betapa mereka amat puas ketika menenteng handphond, headphone di telinga. Dnegan kaca mata hitam, ala Radja penyanyi band menjengkelkan itu, merka bergaya di pinggir jalan. Di hadapan kawan-kawan. Belum lagi gaya rambut yang mengikuti trend anak band. Membuat jurang antara yang mampu dan tak berdaya begitu terbuka dengan jelas.

“Hampir di tiap Hp memiliki fasilitas Video. Mereka mengambil (downloud, maksudnya) di counter. Satu lagi biasanya 1500 ratus. Tergantung hubungan dnegan merekalah. Untuk film porno pendek biasanya 2500.” Kata seorang rekan yng sudha berkeluarga memamerkan film-film pornonya padaku di pos ronda. Sekelompok anak muda berkumpul di belakangnya.
“Mereka punya yang begituan juga?”

“Iya dong. Tiap bulan ada film-film baru. Memang pendek sih, Cuma pas untuk ukuran henpon. Yang laku tuh, film-film Indonesia. Mereka bikin pelem gituan juga ya? Eh, kau sering liat di internet juga ya? Bagus-bagus nggak. Banyak pelem pornonya ya diinternet. Kalau aku ke Yogya ajak ya? Katanya bisa nonton di sana.”

Aha, aku tahu itu. di Yogya, aku sudah muak menonton bokep. Di warnet-warnet berjamuran film-film porno ala Indonesia yang diambil dari rekaman pribadi itu. tapi di sini juga bisa menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Aduh, aduh.

Aku terpaksa lebih sering menyembuyikan henpon dan diriku di dalam rumah. bukan malu. Cuma aku selalu kaget dengan pertanyaan-pertanyaan yang makin memuatku sulit menjawabnya. Bagaimana kebudayaan barat masuk ke kampungku yang polos ini? Mereka dan tentu juga aku adalah korban. Korban dari sistem yang dijajakan sampai ke ruang privat.

Dan sepanjang malam, sejak masa berbuka, anak-anak muda lebih banyak duduk di pos ronda, atau berhamburan denfgan berbagai jenis sepeda motor mereka – segala merk ada. Yang lain, sepertiku, dengan sedikit malas terpaksa melangkah ke masjid. Lalu sehabis taraweh, dengarlah Nidji, Kangen Band, Ungu, Matta Band, Letto mengalun lancar di mulut mereka. Sefasih kami mengeja kitab suci ketika aku kanak dulu.

“Hei, kamu punya hape juga kan? Aku liat dong. Nokia tipe berapa? Di Yogya harganya berapa, ya? Aku ingin sekali punya.” Aku tak tahu itu keluar dari mulut siapa lagi. Malam terlalu memabukkan untukku, berbaur dnegan kerinduanku pada gadisku di seberang pulau. Dan malam ini aku tergagap melangkah pulang, jalanan yang kecil dnegan genangan air di pinggirnya ramai oleh kendaraan yang hilir mudik. Aku menginjak selokan becek, sisa hujan barusan. Dan meraba-raba arah di jalan lintas selatan yang gelap dan suram.

Lebaran ini, di kampungku giliran siapakah yang akan masuk ruah sakit karena kecelakaan? Cepat-cepat kuusir pikiran konyolku dan sebait lagu mengalir dari berisik suara gitar dan teriakan kawan-kawan yang mabuk, “Tapi, kamu kok selingkuh…”

Aku ingin tidur saja dan malas keluar rumah.

Januari 2008