Menuju Pulang
Indrian Koto
Semakin jauh, semakin kau terseret warna baru. Segala yang tampak menjadi begitu akrab bagimu. Jalan kecil dan sempit, tikungan dan belokan, bukit dan jurang dalam, kampung, hamparan padang, sungai jernih dengan batu-batunya yang hitam-tajam, jembatan kayu, sawah dan taratak, pondok dan bukit yang terkungkung kabut putih. Kau merasa begitu mengakrabinya, begitu mengenalnya. Setiap tempat yang rasanya begitu manis kau rasa sebagai akhir perjalanan. Kau merasa semakin terikat di tempat ini.
Bis tetap melaju, matamu semakin kuat menyapu. Selalu ada yang indah, selalu ada yang mendebarkan.
Setiap itu pula, kau ingin seseorang yang ada di sampingmu terbangun dan berteriak pada sopir, “Kiri, Pir. Kiri!” sebagaimana teriakan penumpang yang hendak turun. Tapi tidak. Tempat-tempat yang kau rasa sebagai puncak perjalanan ini belum juga tiba. Kau berdebar, di tanah mana kiranya bis ini akan berhenti, pintu yang mana pula kiranya nanti akan kalian masuki? Setiap pintu, kau lihat, selalu terbuka. Seperti menampung siapa saja dan mempersilahkan dirimu masuk dan tenggelam di dalamnya.
Kau tak berani bertanya. Kau tak berani mengusik debar hatimu. Dia seolah ikut membiarkan dirimu larut dalam debar semacam itu.
Setiap simpang, setiap belokan kau harap sebagai pemberhentian terakhir. Bagian lain hatimu tetap penasaran, setelah ini, di balik jalan ini, tersimpan kejutan apalagi? Adakah yang baru setelah ini? Uuh, perjalanan yang baru, selalu menyisakan debar dan kau yakin, kau tak akan begitu saja bisa melupakannya. Di tanah ini, segalanya serupa pekasih, serupa mantra yang membuatmu selalu merindukan apa pun, mengenang apa pun, dan mengajakmu selalu ingin pulang.
Kau melirik ke bangku di sampingmu. Dia masih tetap terpejam. Kau berpikir, jangan-jangan perjalanan ini seharusnya sudah selesai dari tadi. Di sebuah tempat yang tadi kau rasa begitu akrab, seharusnya di sanalah kalian turun. Tapi melihat ketenangan di wajahnya, kau meragukan itu semua. Sebagaimana dia bilang, “Ingatan tak bisa ditipu. Aku akan tahu di mana kita nanti berhenti tanpa perlu diingatkan. Dari aromanya aku tahu, sadang berada di kampung mana.” Dan kau yakin, dia tidak akan bisa ditipu rasa kantuk dan melewati halaman rumahnya begitu saja.
Tetapi bagaimana kalau seandainya benar-benar dia tertidur dan lupa akan tempat di mana seharusnya kalian berhenti? Dan itu bisa saja terjadi mengingat begitu lamanya ia tak lagi menjejak tanah ini.
Seperti membaca pikiranmu, ia menggeliat bangun. Membuka mata dan menatapmu. “Sampai di mana ini?”
Kau mengangkat bahu. Bagaimana kau tahu ini di mana, karena segala tempat benar-benar asing bagimu. Kau tak tahu bis sedang menuju ke mana. Kau tak sepenuhnya mengerti arah, meski pun kau tahu bis ini pasti mengarah ke Selatan. Tapi kau tak tahu di mana Taratak, di nama Lansano, di mana Surantih. Dan sekarang, di antara laju kendara, kau tak tahu tempat apa yang sedang kalian lewati ini. Tak ada petunjuk yang mampu membuatmu paham ujung perjalanan. Satu-dua tempat memang memiliki papan mana yang kecil dan kelabu. Kau tak bisa menjadikannya sebagai petunjuk. Kalau pun terbaca Tarusan, Pasar Baru, Salido atau Painan, kau tak tahu itu ada di mana. Dan Lansano entah berada di titik sebelah mana pula pada bagian jalan ini.
“Ngantuk? Tidurlah.” Katanya setelah sesaat melirik ke luar jendela. Setelah itu ia meluruskan duduknya. Dari sikapnya, kau tahu, dalam sekejab dia sudah mengenali daerah yang sedang kalian lewati.
Kau mengurungkan pertanyaan, “masih jauh?” Kau tak ingin debarmu berhenti sampai di sini.
“Bagaimana perjalanannya? Cukup melelahkan bukan?”
Kau menanggapi dengan senyum. Kau melirik wajahnya yang seketika tampak cerah. Rasanya ia jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya.
Kau merasa cemburu padanya. Dirinya seperti dilemparkan jauh ke masa remaja. Kau merasakannya sejak kalian meninggalkan terminal bayangan siang tadi. “Bagaimana mungkin sebuah kota tidak memiliki terminal?” Kau meledeknya tadi ketika kalian diseret-seret calo angkutan. Tapi dia tak terusik sama sekali.
Di bis, dia melupakan panasnya kota. Kaca bis yang dibiarkan terbuka tak cukup membuat tubuh kalian berhenti dari keringat. Tetapi dia, di antara hujan keringat masih saja bisa bercerita dengan riang, tentang perjalanan yang nanti akan kalian lewati; laut, gunung, kampung, sawah, gunung, laut, kampung, sawah gunung… Dia sama sekali tidak terusik dengan penjual bengkoang, ia seperti melupakan pedangang keripik balado, pengamen dan peminta-minta.
Suaranya tenggelam bersama dentuman musik yang diputar dengan keras dan mesin bis yang digas dengan kencang. “Beginilah cara mereka memaksa penumpang naik. Padahal mereka baru akan jalan kalau bis ini penuh.” Katanya. “Sejak terminal kami dipindah dan diganti plaza, sejak itu pula kami kehilangan sesuatu yang berharga.”
“Kota tanpa terminal,” katamu, “semakin memperlihatkan identitas kota ini; keras, kasar dan kurang disiplin.”
Dia hanya tertawa. “Sehabis ini, kau akan melihat laut dan semata-mata laut. Kemarahanmu akan digantikan rasa kagum.”
Kau tak bisa menebak apa yang ada di kepalanya saat ini. sebuah pulang, tentu memiliki hasrat yang tersembunyi. Tapi setidaknya dia benar, sepanjang jalan kau diusik pemandangan di luar jendela yang tak pernah kau temukan sebelumnya; jalan membentang di pinggir laut, teluk yang serupa danau, di mana ombak hanya riak kecil di celah batu. Tikungan, jurang terjal yang membuatmu merinding. Di bawah semata laut, batang kepala, perahu nelayan dan bis yang berselisih di jalan sempit.
Kau merasa begitu cemburu padanya. Mencemburui kepulangannya. Meskipun kau beserta, tapi kau ragu, apakah kau akan tetap muncul di antara bayang-bayang kampung halamannya? Ia sering menceritakan kampungnya padamu, tempat ia dilahirkan tumbuh dan dibesarkan. Tempat ia mengenal banyak perempuan.
Sebuah pulang, kau merasa seperti mengumpulkan serpih kenangan.
“Kenapa? Berdebar ya?” Dia bertanya sambil tertawa.
“Aku tidak bisa membayangkan suasananya.”
Dia tergelak. “Tentu saja kau akan jadi pusat perhatian. Bukan hanya karena kamu perempuan yang cantik. Orang baru akan disambut berlebihan.”
Ah, dia tak pernah tahu apa yang ada di pikiranmu. Dia tidak akan pernah tahu. Kepulangan yang tanggung. Ini lebih dari kerinduanmu pada sebuah tempat asing dan jauh. Lebih dari sebuah keinginan untuk bertamu.
“Kenapa melamun?”
Kau tersenyum. “Ya. Aku cemburu padamu. Pada kepulanganmu. Kerinduanmu pada masa lalu akan segera terobati.”
Dia menatapmu tak mengerti.
“Kau masih memiliki tempat untuk pulang. Tempat di mana kau tak hanya bertemu ayah-ibu dan menumpahkan rindu pada rumah. Kau masih memiliki tempat mengeja silsilah. Di tanahmu, bisa kau temukan jejak leluhur. Tempat yang masih bisa kau ziarahi berkali-kali.” Ucapanmu terdengar begitu pilu.
Dia mengusap rambutmu. “Tak mesti begitu. Banyak yang punya kampung halaman tapi tak berniat menengoknya. Dan aku juga tidak sedang pulang. Bukankah kita hanya sekedar singgah?”
Kau diam.
“Setidaknya kini kau punya alamat baru yang tak hanya sekedar kau hapal di kepala. Kau boleh merindukannya, mendatanginya dan menjadikannya rumah baru. Bayangkanlah kau menuju pulang, menuju rumahmu, menuju kampung leluhur.”
Dia mengambil tanganmu, meremasnya dengan lembut. “Aku pernah bilang bukan, nanti setelah kita menikah, ketika hidup kita lebih baik, kita akan menyusuri kampung halamanmu. Mengenali seluruh riwayat yang barangkali masih sisa.”
“Sudah tak ada yang sisa.” Ucapmu, nyaris tersedu. “Aku ingin menyalahkan Bapak yang tak berniat mengenalkan aku pada kampung halaman. Setelah aku besar dan ingin menyusuri garis keturunan, segalanya sudah tak ada. Hanya puing dan bangunan asing tertanam di sana. Tak ada makam leluhur lagi.”
Dia mendesah. “Kepulangan ini, semoga—dan itu harapanku—bisa mengenalkanmu pada kampung baru. Setidaknya kelak bagi anak-anak kita. Mereka akan belajar mengarang dan menulis cerita ‘Berlibur ke Desa’, atau ‘Berlibur ke Rumah Nenek’.”
Kau tersenyum lalu menyandarkan kepala di bahunya.
“Aku berdebar, sayang.” Bisikmu di antara berisik lagu-lagu Melayu dari tape bis yang menderu kencang.
“Aku juga. Aku berpikir tentang banyak hal. Rumah, keluarga, kawan-kawan…”
“Masa lalumu, juga?”
Dia tersenyum. “Tentu saja. Aku merindukan semuanya.”
Kau mendesah pendek. Jujur, tiba-tiba kau merasa iri. Kepulangannya adalah semacam balas dendam untuk sekian tahunnya yang hilang. Tentu akan disusurinya banyak hal sekaligus. Peristiwa-peristiwa yang berserak di mana pun nanti dia menginjak tanah. Ia punya tanah kelahiran, kampung leluhur, tentu dia memiliki banyak peristiwa yang bersisa di sana.
Dan dia, aduh, tidakkah para gadis yang sering dibicarakan padamu dulu akan ia temui pula kini. Gadis kampungnya sendiri, tetangga rumah yang manis. Mengajarkannya rindu dan berharap. Kalau pun mereka sudah berkeluarga tentu saja kesempatan bertemu itu besar. Bukan tak mungkin peristiwa-peristiwa manis akan berjatuhan satu-satu, merangkai kisahnya sendiri.
Kau mengingat beberapa nama yang sering dibicarakannya. Maria, Yuni dn Inof. Bagaimanakah reaksi mereka atas kepulangan kalian ini? Ah, ah, kau tak bisa menebak apa pun kini. Segalanya begitu penuh. Segalanya terasa penuh. Membuat debar jantungmu semakin kencang. Pulang, setelah hampir du tahun pernikahan kalian. Sebuah pulang yang entah bisa disebut apa.
Apa yang akan pertama kau lakukan? Kau kembali teringat roman-roman lama. Roman-roman yang sesekali kalian tertawakan. Entahlah, kali ini segalanya memenuhi perutmu, serupa bayi yang bersembunyi di baliknya.
Dulu, kalian pernah merencanakan sebuah pulang untuk bulan madu. Singgah di kampungnya selanjutnya menyusuri sisa riwayat keluargamu di ujung pulau. Tetapi kau sudah tak berniat melanjutkan rencana itu. “Sudah tak ada yang sisa. Kampung-kampung baru bermunculan menghapus riwayat lama.”
Tetapi demikianlah. Kalian akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Sebuah pulang yang kalian rancang begitu lama. Kau mengenal keluarganya dari cerita yang mengalir dari mulutnya. Dan kini, pada kepulangan ini, dadamu berdegup kencang, bagaimana reaksi keluarganya? Dan kalian sepakat untuk tidak mempercakapkan hal ini. Kalian telah menghabiskan banyak waktu membahasnya.
Dia menyikut bahumu. “Sudah sampai,” Bisiknya padamu. “Pir, kiri, Pir! Kiri!!” Dia berteriak lantang.
Bis menepi, bergerak pelan, kau berdebar lebih kencang.
Yogya, Mei 2008
3 comments:
lalu,
kenapa kita harus pulang kesana, kawan?
kalo menurutku,
rumah itu ada dihatiku sendiri, dan ada di hati beberapa orang yang kukenal.
:)
ke sana mana, kawan? hehehhe
yup. rumah ada dihati. tapi ada rumah yang bisa menampung banyak peristiwa, masa kanak dan segalanya.
rumah lain yang justru lebih abadi adalah MATI!
Post a Comment