Malam Idul Adha
hujan jatuh di sebelahku
sebelahnya lagi sepi bernyanyi
dingin menyusup dalam dadaku
inilah gerhana jiwa
letupan hati yang peling sempurna
ada payung
yang tak satu pun bisa kukenal betul warnanya
tanah basah yang aromanya
bagai tawa manis kekasih
lalu meninggalkanku diam-diam
(Sebuah Hujan)
Selalu, di waktu-waktu special dan intim, aku merasa sendirian. Ini malam, 19 Desember 2007. besok orang-oramng merayakan Idul Adha. Aku mendengar gema takbir berkumandang, aku merasa kian sendirian.
Beginilah mula-mula. Aku sendirian, berhitung dnegan kemiskinan dan rasa sakit. Tak banyak yang kuinginkan dalam hidupku awalnya. Sederhana saja, setiap kali bangun, aku memiliki sebatang rokok dan beberapa receh untuk mengganjal perut. Aku tak terlalu manja sebenarnya. Aku tak perlu jadwal dan rencana. Ketika aku menginginkan sesuatu dan aku mampu maka segalanya berjalan dnegan sederhana.
Tapi segalanya berubah setelah aku bertemu kau.
Aku tak akan menuliskan banyak hal di sini. Aku memulai sesuatu dari awal. Meyakini seseorang, mempercayai sikap dan kata-katanya, mulai mengenal jadwal dan mandi pagi, potong kumis dan hal-hal sederhana yang dulu terlupakan.
Aku terbiasa dan mulai takut kehilanganmu.
Barangkali kita, bermula dari kesakitan orang lain. Kupikir keindahan hanya diciptakan untuk kita. Satu sama lain, sepanjang waktu saling membutuhkan. Dan orang-orang mulai meninggalkan kita satu-satu. Kupikir, jika bersamamu aku merasa lebih bahagia, mengapa aku harus menangisi kehilangan lagi?
Apa yang kekal di dunia ini? Juga dirimu. Berlahan aku merasa, kita semakin jauh. Memang, sepanjang hari kita selalu bersama, selalu ada. Tetapi betapa rasanya ada yang lain kini. Tentu ini bukan yang pertama, tapi kupikir ini yang terakhir. Kau pelan-pelan menjauh dariku dan melewatkan hari-hari special tidak denganku. Dan selalu, sepanjang hari-hari special itu, aku kehilangan kau.
Apakah yang sedikit dans empit ini harus dibagi pada yang lain? Dan aku semakin paham (tapi tak sungguh mampu meyakinkan diri) bahwa kau tak akan pernah pulang lagi, mengetuk pintuku dan menghambur masuk dalam pelukku. “Hujan terlalu deras saying, aku basah.”
Tak. Kupikir, rasanya terlalu banyak hal-hal manis yang tak lagi kau dpatkan dariku. Mungkin kita perlu belajar menghargai. Sementara ini, aku tak bisa lepas darimu sekaligus ingin lari darimu. Aku menyayangi sekaligus membencimu sepenuh hati. Mungkin aku menyayangimu dengan segenap diriku dan membencimu dengan sepenuh hatiku.
Bagiku, memilikimu adalah memiliki dunia ini.
Besok tak ada yang bisa kukorbankan. Hanya dirimu milikku sati-satunya. Tapi kupikir, malam ini aku telah menyiapkan ‘pengorbanan’ yang paling besar dalam hidupku. Dan aku mencintaimu. Aku akan mengorbankan hatiku untuk kebahagiaanmu. Mengorbankan dirimu untuk kebahagiaanmu. Hanya dirimu yang kupunya dan inilah yang harus kuberikan sekarang juga.
Aku tahu, aku akan kehilangan seluruhnya dan tak begitu saja bisa melepasmu. Tapi kupikir waktu akan berdamai juga dengan kita. Dan aku akan merasa (kelak) betapa damainya mendengar takbiran sendirian.
Kepadamu dan seluruh manusia yang mengenalku dan yang aku kenal, aku ingin berkata, “terimalah pengorbananku ini…
Kepada kalian yang sempat mengenaliku
Padamulah sajak ini kutuliskan
Agar tunai utang janjiku
Kepada kalian yang sempat kusakiti
Kutasbihkan tubuh ini untuk seluruh kebencian
Agar kelak tak ada yang mengenang kebaikan
Yang belum pernah kuperbuat
Kepada kalian yang sempat membenciku
Kupercayakan takdirku atasmu
Agar kelak aku tak melulu hitam-putih
Kesadaranku masih penuh
Kadang, untuk sebuah kejahatan tak ada
Yang pernah meniatkan. Dan kejahatan tercipta
Ketika kau merasa menjadi korban.
Kepada kalian yang sempat merasa dendam
Kuyakini dengan segala kesungguhan
Kaulah malaikat itu yang menentukan arah hidupku
Kepada kalian, kurasa tak perlu maaf
Dengan demikian impaslah kita
Dan kalian tak perlu membayar atas pelajaran
Sederhana ini; tak akan ada yang mengulang
Kejahatan yang sempat kuciptakan.
2007
(Sajak Kepada Semua Orang)”