Wednesday, May 30, 2007

Sebuah Ingatan yang (Mulai) Sumbing
silaukah matamu oleh cahaya itu? atau matamu perih? Ataukah ada rahasia yang tersimpan di dalamnya dan ingin segera kau miliki?

aku mencintaimu dengan seluruh kata yang lahir dari mulutku. seluruh kata yang tak akan pernah kau pahami kebenarannya.ia adalah isyarat, di mana kita hanya bisa menandainya.

kenangan, kau tahu? Ia menumpuk dan tak akan bisa kau buanhg begitu saja. selalu ada yang tersisa dan kembali bisa digandakan.

penggalan kecil

Mei, Ulang Tahun dan Sebuah Luka


Kamu tahu artinya berdusta? Tahu sakitnya dibohongi?
Lalu tahukah kau seperti apakah itu cinta? “Kita tak pernah tahu bentuknya. Ia tak melulu putih, kadang abu-abu, gelap dan hitam.” Katamu meniru sajak Dorothea. Aku tak tahu soal itu.
Mei, kau tahu, ini musim berkabut sayang, dan kita hanya punya rumah dari kertas yang kita lukis dengan dada berdebar. Di dalamnya kita tanam impian sederhana dan perihal kecil lainnya. Sebuah senja, kau paham, adalah ambang di mana hidup dan mati dimulai, akhir dan permulaan sedang kita garap.
Pancaraoba, kau tahu. Mei melulu pergantian musim dan rasa sakit. Tidak, kau justru merayakan sebuah perayaan besar, saat di mana kau menglang kelahiranmu dan merasakan sebuah telepon yang tiba-tiba. Begitu saja, aku terlempar. Kabar-telpon dan ucapan selamat dariku yang miskin dan tak romantis ini lenyap dimakan angin oleh eforia sederhana.
Kau mulai mencuri kata-kata romantis dari sajakku dan menyusunnya pada sebuah partitur. Sebuah lagu kalian mainkan begitu riang dan penuh getar. Ada bahagia, sesak, takut dan rahasia. Apa yang tak lebih nikmat dengan sesuatu yang sembunyi-sembunyi? Dan kita terbiasa dengan sesuatu yang dilarang, sesuatu yang ditabukan. Semakin sulit, semakin dasyat sensasinya.
Ada yang luka memang. Ada yang perih. Ada yang nyeri.
Kau dan aku. Kita.
Apa sebenarnya cinta? Lalu serupa apakah warna luka? Merah? Itu darah.
Kau menyembunyikan sebuah lagu yang diam-diam begitu rahasia dan mendebarkan bagimu. Dan cinta kita. Duhai, bagaimana rupanya bermain sandiwara dalam sebuah cerita cinta yang rumit?
Selesai?
Aku membencimu dengan seluruh cinta yang kumiliki. Siapa yantg pecundang sebenarnya? Mengapa selalu, kita berahasia untuk sebuah sensasi dan debar dada.
Kau tahu, aku membencimu dengan terus mencintaimu. Itulah dendamku. Untuk seluruh salah akan kubalaskan dendam dengan mencintaimu dengan seluruh.
Peliuk aku, peluk aku dan kita selesaikan segalanya.
Kita tak butuh pemenang. Kita hanya butuh hidup sederhana dengan pertengkaran kecil tentang pulsa, sisa uang dan jadwal apel. Setelahnya, biarkan kepalamu di bahuku. Aih, masihkah ia bisa menampung seluruh duka seluruh luka? Dadaku, dadaku yang tipis ini masihkah kuat menampung kesedihan yang aku-kamu lakukan? Menangislah untuk masa lalu dan berbuatlah untuk masa ini.
Jangan berjanji atawa sumpah. Karena cinta untuk dijalani dan dinikmati.
Dan peluk aku sekali lagi.

Wednesday, May 16, 2007

Met Ultah, Sayang


Met Ultah, Sukmaku, sayang.

12 Mei, 19 tahun lalu kau dilahirkan. Waktu itu aku belum mengenalmu kau juga belum mengenalku, dek. Setengah bercanda, menghibur diriyang terkadang galau kita saling berkata, “Sebenarnya kita sudah mengenal dari dulu, bahkan sebelum kita sempat diiptakan.” Dan sekuat tenanga kita mencoba mempercayainya. Tentu dengan gundah yang nyaris sama.

Kadang aku berharap demikian. Sebagai mana kau juga menginginkannya, dek.

Barangkali kalian akan menganggap ini semacam igauan sepasang pecinta yang malang dan mabuk oleh haru biru. Tapi kukatakan, setiap pejalan pada waktunya, ingin menghabiskan waktunya di sebuah tempat yang dirasa paling aman. Dan aku, menemukan itu pada kau, Mutia Sukma.

Impian setiap pecinta adalah keinginan bahwa, “kau adalah yang terakhir.” Dan kita, apa bedanya? Terasa kekanankan bukan? Tapi cinta, di mana pun, kapan pun, pada siapa pun, ia –cinta itu– tak pernah dewasa.

Lima tahun jarak usia kita. Dengan itu kadang aku merasa sebagai seorang kakak, sesekali dengan segala rumusan rahasia aku menjelma seorang kawan dan lebih banyak menyimpan kecerwetan dan keingnan-keinginan sederhana padamu. Sebagaimana juga kau, kadang kita merasa marah dan mau muntah, tapi cinta tidak akan selesai begitu saja.

Suatu waktu kita ditemukan, kau naik ke panggung, membacakan sebuah puisi Ken Hawa dan kau persembahkan buat Oom Saut. Kau tahu waktu itu, bagaimana cueknya aku. Aku terlalu tidak tertarik dengan orang-orang baru. Bagiku, mereka, hanya menulis peristiwa singkat dan membiarkan aku kering untuk lanjutan yang tak akan pernah ada. Dan kau, seorang asing, stranger. Apa bedanya di antara sekian banyak orang yang tak kukenal di acara Mimbar penyair Muda Yogya ini. Ah, waktu itu menunjuk sekira Agustus 2006.

Setelahnya seseorang menggigaukan dirimu dengan keras. Dan aku merasa mengenalmu melebihi siapa pun. sebagaimana kita yakin, kisah ini sudah bermula semenjak ribuan tahun yang lalu. Kita hanyalah inkarnasi.

Kau sering berkunjung. Dan aku menjadi begitu istimewa. Kau datang dengan cara yang asing, membangunkanku diam-diam, dan mempercayakan segalanya kepadaku. Kau tidak ragu atas apa pun, dan seluruhnya nyaris mempercayaiku. Dan kita menjadi begitu akrab. Begitu akrab.
Kita selalu bersama setelahnya. Sepanjang waktu, hingga detik ini pun.

Ramadhan, kemiskinan mengungkungku. Nyaris seluruh waktuku ku gantungkan pada banyak orang. Jusuf AN, dan kawan-kawan. Kadang aku harus puasa 24 jam dan batas di setiap 12 jamnya adalah segelas air putih dan segenggam kesedihan. Juga kerinduan pada kampung halaman.

Kau rajin menziarahiku. Membawa sebungkus nasi, mengajakku makan dan seperti biasa, membangunkanku dengan cara yang unik dan begitu halus. Sejak itu, sebenarnya kita sudah pacaran. Sudah menjadi sepasang kekasih. Bukankah cinta tak harus terucapkan?

Sebuah waktu yang tak mungkin kita lupa (tentang persisnya biarlah kita saja yang mengngatnya) adalah saat di mana kau mengunjungiku saat aku merasa tidak punya siapa-siapa. Dan aku merasa kita sudah tidak bisa dipisahkan. Tak bisa dipisahkan. Dan kau katakan:


palung mengajarkan kita
tentang kelemahan menjadi kekuatan abadi
yang membantu naik ke daratan lagi
sekedar kembali mencangkulcangkuli tanah
yang tak pernah menjadi milik kita
namun, demi sepetak ladang stowbery
tumbuh di hatimu
maka dengan keikhlasan paling sempurna
kuwakafkan diriku sebagai tanah yang paling
gembur untuk kaugarap kapan saja
di mana tetes keringatmu
sebagai tasbih yang paling mulia
dan di tanah kita kelak
kan kutulis surat cinta sederhana
semacam penghapusan masa silam
yang akan segera diriwayatkan
dijilid dalam sebuah buku
lalu disimpan di kardus bekas mie instant
(bantuan gempa setengah tahun silam).

20 desember 2006
(Surat Kepada K)

aku gamang sayang. Bisakah kita berjalan dengan segala peristiwa yang kita alami sebelumnya, dengan segala kerumitannya. Aku mencatatnya begini:

dan kau, sepasang matamu yang bening dan kanakkanak
tak cukup menyelamatkanku dalam harubiru
“setiap soal, setiap beban adalah perihal yang
membesarkan.” aku tak cukup kuat menafsir ulang
banyak kisah; lebaran ini, kerinduanku dibalut gunda dan luka.
kau menafsirnafsir lukaku dan aku sedikit
berpurapura menceritakan kerinduan yang dangkal; wajah ibu,
aroma kampung, lemangtapai, ketupat dan irama takbir
tapi, rahasia itu tetaplah terus terjaga
yang barangkali kelak akan kau tau juga, saat di mana
aku tak bisa merangkulmu lagi
- jika kau benarbenar pergi.
“jangan pergi dulu,” kataku di malam itu. “ikutlah bersamaku
kita akan rayakan keriuhan di jalanjalan, di alunalun sampai
kita muak dan muntah dengan sedikit sesal yang tertunda”
ramadhan telah usai, adakah besok, waktu yang lain
akan mempertemukan kita serupa peristiwa ini?
sebab kelak, mungkin kita tidak akan menghabiskan waktu
di jalan ini lagi. barangkali aku akan berada di tempat tersunyi
dan kau sedang menyandarkan kepala di bahu entah siapa
"itu kau," katamu dengan mata yang serupa malam
tapi tidak, kita tak beranjak
kita samasama berdusta, ”tinggallah di rumah,” katamu,
“kita akan makan ketupat dan dari dalam akan kita dengan irama takbir.”
kali ini aku menjadi manusia yang sedikit patuh, setidaknya
untuk sepiring ketupat. dan kita bercerita sesuatu yang cengeng;
tentang rumah masa depan, kata seorang kawan.
jika kata adalah doa sunggukah ia akan ada?
oh, celaka! banyak hal yang begitu rahasia. dan kami
yang tak pernah kuceritakan padamu adalah peristiwa konyol
yang entah akan selesai di mana –katakanlah, bagaimana aku bisa
meninggalkanmu jika bau rambutmu terus mengejarku.
malam itu – setelah pesta kecil itu – kau menghibur
kecengenganku dan aku berdusta padamu tentang
semua kerinduan itu. “aku ditinggalkan banyak waktu,
ditinggalkan banyak kisah.” kataku.
“setiap orang tengah mencipta peristiwa lain
atau menyambung kisah yang lama.”
“dan aku ingin punya persoalan denganmu saja.”
kataku dan kau tertawa
inilah rahasianya: setiap orang, setiap kita punya peristiwa dengan
banyak orang. ini rumit dan ini jauh lebih rumit. dan kami, suatu waktu
-ah, betapa aku menjadi tolol– menjalin peristiwa kecil
yang menyesakkan.
dengarlah, aku tulis puisi ini untukmu
sebagai isyarat keberangkatanku. sebagaimana kau tak datang
di hari pertama lebaran ini. “menziarahi waktu. mengunjungi setiap orang yang
mencatat peristiwa denganku.”katamu.
“dan aku, tidakkah juga perlu sebuah ziarah?’
“ah, kau kan kisah yang lain, koto!” –atau tidak terlalu penting?
“enak aja! untukmu akan ada peristiwa lain yang sedikit berbeda.”
-ah, bukankah selalu berbeda. Serupa apa?
dan aku sakit. lalu rumah redup dari bayangku
masa kanak lindap oleh peristiwa kecil dan tuhan tengah mengucapkan
selamat lebaran padaku. tidakkah kau tahu?
ah, kau tak akan pernah tahu,
- atau adakah tengah menjelma kekasih wahai perempuan
yang kukenal lewat sebait puisi.
dan tuhan kembali mengirimkan kartu pos dan bingkisan;
dosa dan dirimu.
Di antara itu semua akan adakah kita?
poetika, 2006
(Sebuah Lebaran Untuk seorang perempuan)


kau tahu, ketika itu aku tak begitu yakin dnegan hasratku. Tapi kita berkjehendak lain. Dan sebuah kesepakatan, tanpa janji-janji cengeng, tanpa sumpoah-sumpah palsu, tanpa kata berbunga, kita sepakat bersama-sama menjalani hari-hari ke depan. “Kesendirian terlalu menakutkan, sayang.”

Dan waktu berlari. Kita melaju dengan cepat hingga hari ini. Tahun bergulir dengan buru-buru dan kini, Mei mengetuk pintu. Kau tahu dek, tak akan ada boneka anjing, tak ada tart kecil dengan sebongkah lilin yang bertuliskan angka 19 yang akan kau tiup dengan riang. Karena hidup begitu keras, sayang. kita sedang bergegas ke satu arah, satu titik di mana “impian masa depan” kita sedang menunggu: sebuah rumah kecil dan sederhana di pinggiran sungai, di sampingnya sawah menghampar. Aku ingin menulis sampai tua, kau ingin menjadi seorang dosen yang mengajar ini –itu. kita kedatangan banyak tamu. Setiap hari kawan-kawan kita datang berkunjung, numpang tidur dan makan, bercerita tentang kota, polusi dan asapnya, tulisan di koran-koran, keluhan pada hidup. Dan kita merasa beruntung, setidaknya mau jadi pendengar yang baik. Lalu kita mengurungnya di perpustakaan pribadi kita. Menyediakan segala sesuatu buat dia. Dan aku masih bisa membaca koran setiap pagi dan di minggu siang kita sibuk berdiskusi tentang isi koran. Dan anak-anak kita lahir dan berebut tumbuh.

Kau tahu, dulu aku tak pernah punya pikiran senikmat ini. Aku membenci semuanya. Benci. Tapi, kini kita mesti belajar mmpercayai ingatan dan menyusun harapan. “memandangs esuatu dengan positif.” Katamu. Dan kita tuerus berjalan di atas bumi yang semakin asing ini. Semakin rumit ini. Tak terpetakan, sayangku. Sungguh.

Kau terus mencipta puisi demi puisi. pertemuan-pertemuan yang terkadang kita isi dengan pertengkaran, jalan-jalan dan mempercakapkan hal-hal penting dan tak penting. Datang ke acara-acara sastra sebagaimana biasanya: orang bingung dan tak banyak paham.

Dan aku tak jua bisa menemukan sebuah kado yang pas untukmu. “aih, barangkali di hari ulang tahunmu nanti. Akan kuberi sebongkah hati. Mentah, merah, berdarah. Agar kau paham detaknya.”