Mei, Ulang Tahun dan Sebuah Luka
Kamu tahu artinya berdusta? Tahu sakitnya dibohongi?
Lalu tahukah kau seperti apakah itu cinta? “Kita tak pernah tahu bentuknya. Ia tak melulu putih, kadang abu-abu, gelap dan hitam.” Katamu meniru sajak Dorothea. Aku tak tahu soal itu.
Mei, kau tahu, ini musim berkabut sayang, dan kita hanya punya rumah dari kertas yang kita lukis dengan dada berdebar. Di dalamnya kita tanam impian sederhana dan perihal kecil lainnya. Sebuah senja, kau paham, adalah ambang di mana hidup dan mati dimulai, akhir dan permulaan sedang kita garap.
Pancaraoba, kau tahu. Mei melulu pergantian musim dan rasa sakit. Tidak, kau justru merayakan sebuah perayaan besar, saat di mana kau menglang kelahiranmu dan merasakan sebuah telepon yang tiba-tiba. Begitu saja, aku terlempar. Kabar-telpon dan ucapan selamat dariku yang miskin dan tak romantis ini lenyap dimakan angin oleh eforia sederhana.
Kau mulai mencuri kata-kata romantis dari sajakku dan menyusunnya pada sebuah partitur. Sebuah lagu kalian mainkan begitu riang dan penuh getar. Ada bahagia, sesak, takut dan rahasia. Apa yang tak lebih nikmat dengan sesuatu yang sembunyi-sembunyi? Dan kita terbiasa dengan sesuatu yang dilarang, sesuatu yang ditabukan. Semakin sulit, semakin dasyat sensasinya.
Ada yang luka memang. Ada yang perih. Ada yang nyeri.
Kau dan aku. Kita.
Apa sebenarnya cinta? Lalu serupa apakah warna luka? Merah? Itu darah.
Kau menyembunyikan sebuah lagu yang diam-diam begitu rahasia dan mendebarkan bagimu. Dan cinta kita. Duhai, bagaimana rupanya bermain sandiwara dalam sebuah cerita cinta yang rumit?
Selesai?
Aku membencimu dengan seluruh cinta yang kumiliki. Siapa yantg pecundang sebenarnya? Mengapa selalu, kita berahasia untuk sebuah sensasi dan debar dada.
Kau tahu, aku membencimu dengan terus mencintaimu. Itulah dendamku. Untuk seluruh salah akan kubalaskan dendam dengan mencintaimu dengan seluruh.
Peliuk aku, peluk aku dan kita selesaikan segalanya.
Kita tak butuh pemenang. Kita hanya butuh hidup sederhana dengan pertengkaran kecil tentang pulsa, sisa uang dan jadwal apel. Setelahnya, biarkan kepalamu di bahuku. Aih, masihkah ia bisa menampung seluruh duka seluruh luka? Dadaku, dadaku yang tipis ini masihkah kuat menampung kesedihan yang aku-kamu lakukan? Menangislah untuk masa lalu dan berbuatlah untuk masa ini.
Jangan berjanji atawa sumpah. Karena cinta untuk dijalani dan dinikmati.
Dan peluk aku sekali lagi.
No comments:
Post a Comment