Wednesday, June 25, 2008

Pesan Singkat Seorang Pemuda yang Lama Merantau di Jawa Kepada Ibunya di Kampung Halaman

Mak, akhirnya
aku sampai jakarta.
Jakarta, mak. Jakarta

Juni 2008

Friday, June 13, 2008

Sepasang Maut

Sepasang Maut

kami dikejar-kejar bayangan laut yang menyimpan maut

setiap sudut ruang dan kegelapan

menyisakan takut dan rasa kalut

di mana peristirahatan paling nyaman

jika kamar begitu menakutkan?

kami yang suatu pagi dibangunkan gemetar bumi

tak hendak menjadi saksi

karena inci demi inci tubuh kami mulai mati

oleh haru dan rasa nyeri

waktu beringsut

menyeret kami pada putaran yang itu-itu juga

: bau mayat dan barisan panjang pusara

begitu saja kami dijegal. mimpi kami dicekal, dan rencana-rencana

menjadi batal. tak ada yang berniat menggali kubur,

tak ada yang berkehendak mengambil cangkul

kami hanya digayuti rasa lelah dan capek menyaksikan

banyak peristiwa penting dan tak penting lainnya

menumpuk, membukit, tumbuh serupa cerobong

mengalirkan larva dan pijar api

begitu-begitu saja.

sebagian kami memilih lembur

sebagian meminum obat tidur

sepasang pengantin lelap oleh haru biru

subuh begitu bening

penuh dengan rencana dan harapan

pagi semestinya suka cita

yang riang. di mana matahari membuncahkan berkah;

kami bekerja dan anak-anak sekolah

ini pagi lain yang tak kami temukan dalam mimpi sekalipun

bahkan sekadar ingatan pun betapa enggan

ia datang tanpa mengetuk pintu

menggantungkan kematian di tiap dinding

sejak kini, rumah menjelma hantu

kamar serupa maut yang mengintai siapa saja

tempat yang paling aman sekalipun

menyimpan kesumat dan bara dendam

oh, sepasang pagi yang menjelma sepasang maut

mengintai kami dan penjuru kota

kami dikejar-kejar bayangan laut

yang menyimpan maut

setiap sudut ruang dan kegelapan

menyisakan takut dan rasa kalut

Yogyakarta, 30 Mei 2006

Sunday, June 1, 2008

sajak

Stasiun; Sebelum Maut

pada keberangkatan terakhir
terasa riuh benar suara rumah
menyanyi di gendang telinga
matahari tengah menghabiskan pelurunya
hingga kota melepuh dan telanjang

seorang lelaki menempelkan sisa gerimis
di dinding stasiun
"selamat tinggal kesepian." teriaknya
dengan riang
stasiun tampak muram
orang-orang serupa penziarah yang menunggu

keranda.
"kubawakan kota untukmu, kekasaih
yang kukaitkan di kantong celana."
jerit seseorang yang lain, terlebih ringkih

betapa malang, siang yang sesak
nafas dan sendirian
setiap kata adalah kemuraman
yang kurang ajar
dan kemelaratan menorehkan
keberangkatan begitu saja
"akan kucium bacin keringatmu, ayah."
jerit yang lain tak mau kalah

para penumpang saling merebut mimpi
berharap jaga melemparkannnya ke depan pintu
dan seorang yang berbahagia itu
merasa menuju pusara ibu

diam-diam telah disiapkan untuknya
sebuah keranda
dan penziarah telah menunggu
di depan pintu.

rumahlebah, yogyakarta, 2006

sajak indrian koto

Ziarah Laut

/a
dengan sebutir kampung halaman
kutanam di dalam dompet
kutunggangi peta usang
yang terhampar di tanah lapang

kukendarai laut
hingga rumah tampak melepuh
kurapal jejak pendahulu
yang tertinggal bersama buih
hingga tubuhku menjelma laut
melulu biru

bukan laut ini benar yang keramat
hanya pelayaran sedikit nakal
memutar arah dan kemudi
juga angin liar yang mencabik cadik

kutemukan kampung seberang
tanpa jejak pendahulu
tanah yang semerah darah
serupa kafan di kubur para leluhur
panji-panji mengepul mengingatkanku
pada tungku ibu
yang asapnya memanggilku pulang

sebutir kampung halaman
yang kutanam di dalam dompet
terus saja tumbuh; sepetak ladang, sederit ranjang,
sisa batuk bapak pada masa kanak
yang tertempel di kamar mandi
layangan mengapung di atas rumah, bau kopi

dan daun nilam
usap lagi punggungku dengan tanganmu, ibu
sampai melepuh
sampai yang tertinggal hanya sebaris kantuk

dan aku menemukan tubuh
mengapung di tanah asing


/b
di mana selatan?
barangkali matahari dan cuaca
bersepakat
menipuku dengan arah angin
hingga aku lupa
masa kanak yang berserak
aku belajar menjala mimpi
memungut dahaga, meracik rindu –serupa bumbu
dan kesiur angin hanya nafas ibu

/c
alangkah sukar merapal jalan
pulang hanya sepetak ingatan
yang mulai rimbun
aku mendaki samudera
membaca sebiji pasir sebagai isyarat
leluhur

di sepanjang pelayaran
pulaupulau tenggelam
hingga tak sebiji pun kutemukan bau rumah
dan amis pantai
merentang layar, aku seperti menziarahi
kampung halaman yang bertumbuh
di dalam dompet

duhai, di mana rumah, sepetak
ingatan masa kanak?

rumahlebah, 2006