Thursday, April 26, 2007

Catatan perjalanan

Kamis, 26 April 2007

Hari ini terasa agak capek. Aku tidur jam tigaan subuh, setelah semalaman menulis ulang tiga makalah pembicara dalam Kongres Cerpen Indonesia II di Negara Bali tahun 2002. rencananya, semua makalah KCI tersebut harus diketik ulang, untuk diterbitkan dalam edisi khusus Jurnbal cerpen Indonesia V di Kalimantan Selatan Oktober mendatang.

Banyak juga, ternyata. Dan harus deadline Mei ini. Untung tulisan untung Selarong sudah selesai. Tapi, eiit.. ini belum selesai, satu puisi untuk Indexpress masih belum kukerjakan. Satu puisi, tapi ternyata membangun suasananya susah sekali. Naskah dongeng dari Flores ini agak sedikit berbeda dnegan naskah yang lain. Ada tokoh hidup dan benda mati yang bisa berbicara dan bersahabat. Ada palu dan jarum yang berkawan rapat dengan belut, udang dan kawan-kawan. Duh.. capee.. dehhh!!!

Aku berharap mei ini semua kerjaku selesai dan aku bisa pulang ke kos, tiduran dan membaca buku. Aku mau mengistirahatkan kepala yang sebuah ini untuk kemudian nanti digunakan lagi menulis. Aku akan memberinya waktu libur, tapi tidak sekarang.

Enyahlah tugas-tugas. Uangku hanya dua ribuan berapa... pulsa abis. Dan aku menelpon sukma. Dia sudah siap-siap untuk menonton final baca puisi memperingati Haul Chairil Anwar di UNY. Duh, Cahiril besok meninggal...

“Mau ikut gak?”

“Gak, mau nulis aja dulu, dek.”

“Ya udah. Ada uang buat makan?”

Aku menggaruk kepala.

“Punya gak?”

“Gak..” Kau merintih.

“Ya udah. Nanti siang aja ya..”

Aku mau tiduran lagi. Dan tertidur beneran. Jam sepuluan aku bangun. Cuci muka dan mengetik lagi. Melanjutkan Makalah Putu Wijaya, Afrizal Malna dan uh.. capek..

Sukma datang bawa makanan. Duh, cantik sekali dia (tidak hanya) hari ini, lo. Pakai rok panjang, tumben nih anak.

Makan. Setelahnya sedikit bertengkar. Hahaha.. masalah rumit itu tak jua terpecahkan.

Hujan turun. Dan kami bersepakat keluar. Jalan-jalan, menghirup aroma Yogya setelah hujan. Bukan ke kota. Kami menuju selatan. Di perempatan kami suit. Aku menang, kita ke Selatan, Bantul.

Perempatan Bantul-Yogya kami suit lagi. Wah, sukma curang dia pura-pura kalah. Ya sudha, kami ke Barat.. barat dan terus ke barat. jauh.. hmm.. cuimlah aroma ini, serupa di tanah sendiri. Tempat yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk.

Kita masuk ke perkampungan. Asal aja. “kalau nyasar nanti cari warnet, klik google map. Biar tahu posisi kita dimana.” Kataku bercanda. Sukma mulai tak peduli, dia sibuk dnegan barisan bebek yang pulang kandang dan persawahan. Dia mulai berteriak “uhh..uh..” sambil mengangkat tangannya, menghirup udara perkampungan yang lembut. Keceriaan terpancar dari kedua pipinya yang memerah, seperti habis di-cas. Berkali-kali dia minta ganti posisi duduk. Ngangkang.

Perjalanan makin asik. Menikung, naik, turun, hutan, rumah, sawah, ladang tebu.. “Padahal di sini eksotik. Kok yang dikenalkan Cuma Keraton saja ya?” gumamku.

Aku berhenti. Sukma sudah tak bisa ditahan, dia ingin duduk mengangkang, kakinya kram menyamping semacam itu. Keinginannya tak bisa ditolak. Dan perjalan diteruskan. Kami semakin jauh dan asal. Tapi yakinlah sobat di sini tak akan nyasar. “kan ada google map.”

“Enak aja.” Kata sukma. “emang ada warnet apa di sini.” Katanya.

Ah, setiap jalan di Yogya selalu bertemu dnegan ujung lainnya. Itulah rahasianya. Dan.. benarkan.. setelah jauh perjalanan, kami tiba-tiba berhadapan dnegan jalan raya. Jalan Bantul yang ramai di petang yang mendung.

“Ke Simbok yuk..” katanya. Simbok adalah orang yang mengasuhnya ketika kecil dulu.

Kami melewati kasongan yang penuh barisan toko cindera mata itu, berbelok ke utara, ke area ladang tebu dan pabrik gula... terus... dan sampai deh di simbok.

Orang tua yang ceria. Di masa tuanya dia selalu ingin bekerja dan penuh semangat. Dasyaaat..

semoga ada puisi yang bisa ditulis dek, ya????

Wednesday, April 25, 2007

Sajak Koto-Sukma

Rambut Perempuan II

Kucium habis rambutmu

Sampai kutemukan bau rumah

yang semakin hitam

semakin kelam

Biarkan kubenamkan kepalaku

lebih dalam lagi di legam rambutmu

Sampai puas aku, sampai usai nyeriku

Yogyakarta, 0ktober 2006
(by: Koto)

Kusepuh Namamu

kusepuh namamu di jejak kaki

malaikat baikku

:indrian koto

agar serupa bumi

kau memberi tempat berpijak lain

segala biru. hijau yang duludulu membosankan

mengalir di sepanjang selokan

mengejar tikus air yang berenangan

agar serupa bulan

merangkum berabad gulita

lalu menaburnya di atas kue coklat

kejutan kecil di hari basah

dan kau suapkan di bibir ini

sesendok cinta yang tak pernah basi

sesendok rasa yang tetap pagi

meski malam merengek ingin berganti

agar serupa langit

kau memberi kekosongan yang

tidak sempurna

karena lewat awan menggemaskan

imajinasi kuno dan manis

ditontonkan ribuan kali

berikan aku tempat berpijak lain

supaya lengkap sudah sepuhku

agar serupa bumi, serupa bulan,

serupa langit

bumi berputar mengelilingi

bulan yang memberi warna

pada langit

o, lengkap sudah sepuhku.

05 maret 2007

duh... puisi, betapa dekatnya kau dengan hati.

sementara hanya ini yang kami ingin. sebab siapa yang bisa menduga gerak waktu dan apa yang terjadi esok pagi??





Catatan Ringan Koto-sukma

aih.. ini subuh aku ingin menulis sesuatu tentang cinta:


.. Duh ada yang Terbakar Nih

25 April 2007. Selasa

yang begitu setia hanyalah cinta dan kematian

Hari ini koto kuliah. Sukma masih setia mengikuti dan menyimak para peserta lomba baca puisi haul Chairil anwar. Ada Faisal di sana juga. Kuliahnya dua. Tapi Koto masuknya Cuma yang kedua, jam 10, Patologi Sosial.

Saat itu presentasi masalah Kenakalan remaja. Diskusi yang asyik dan menyenangkan. Tapi satu kegelisahan adalah, kok ya kemudian pembicaraan kenakalan remaja ini larinya jauh ke individu. Tidak ada defenisi “nakal” juga di situ. Apakah ia sebentuk kejahatan, tindakan kriminal atau semacam apa. Persoalannya kemduian berputar pada persoalan keluarga dan lingkungan. Uhh.. capek dek.

Tapi entah juga. Saya merasa persoalan kenakalan remaja adalah tindakan komunal, sebuah prilaku yang dikerjalkan sekelompok orang untuk memuaskan diri, untuk memperlihatkan bahwa mereka bisa/mampu atau sekedar menunjukan simbol-simbol kekuasaan/ pengakuan diri pada masyarakat umum dnegan kebut-kebutan di jalan, kebut-kebutan di jalan, dan semacamnya. Kalau pun dilakukan seseorang alasannya tetap sama, untuk menunjukan jadi diri atau setidaknya ingin di terima oleh satu kelompok tertentu.

Tapi itu hanya keyakinan saya saja.

Kembali ke UNY. Menunggu pengumuman final. Dan ternyata Sukma gak lolos. “tak apa, pelajaran bisa didapatkan dari sini.”

Dan Sukma tak terlalu cerewet. Hujan. Kami harus pergi juga. Ke Patehan. Ke kantor, tentunya. Duh, sukma pasti laper sekali. Hanya makan mie goreng sebelum berangkat ke BBY latihan baca puisi yang sebentar lagi akan pentas di Sanata Dharma.

“SMS kalo dah sampai ya?”

Hujan masih turun.

Sampai jam delapan malam, sebuah SMS Masuk.

“Jangan marah ya, sayang. Tadi A**n menyusul (menyebut mantan pacarnya), dia nelpon rumah dan tau kalau sukma laitan.”

Aduh. Gak tau juga gimana perasaan ini. Tombol tuts ditekan kuat-kuat sebagai tanda kegalauan. Cemburu? Tidak sebenarnya. Tapi ini adalah soal yang berlarut-larut dan sama-sama tidak kita suka. Sukma selalu diteror oleh masa lalunya. Lelakinya dulu. Berkali-kali ditolak tapi dia tetap ngotot. Sampai suatu malam kami harus berhadapan di kantor polisi. Kami berhadap-hadapan. Setelah itu saya pikir urusannya akan selesai.

Duh... nyatanya tidak. Dia tersu membuntuti. Dan kekesalan ini entah ditujukan pada siapa. Sukam sudah mencoba menyelesaikan baik-baik, tapi dia tetap memaksa. Sementara aku mulai merasa Sukma terlalu baik dan lembut pada setiap orangs ehingga menelantarkan perasaan pacarnya sendiri. Tapi entahlah.. semua berkecamuk.

Coba sukma sms misalnya pas lagi ngobrol sama A**n, kan kecurigaan tidak akan bertambah. Tapi sms jam delapan, meskipun dengans egala penjelasan tetap membikin rasa tak nyaman.

Duh cinta, kenapa setiap orang menjadi begitu cengeng? Dan berprasangka? Mengapa rasa cemburu selalu muncul?

Karena cintakah? Tak tahulah. Aku masih merasa gak nyaman. Bukan marah atau apa, Cuma merasa dilupakan saja. Duh, merasa dilupakan. Kenapa cinta membuat kita betu perasa?

Sukma...sukma.... cinta-cinta

Monday, April 23, 2007

Sajak Sukma-Koto 2

Waktu, kau tahu, ia begitu saja melenyapkan apa pun. melewatinya tanpa ampun. ada kalanya kita menyebutnya kenangan dan segalanya tinggal bayang:


Pengantin Kudus

:bab

kita bertemu

di mana debaran pecah

memberi butiranbutiran air

karena hati yang dikaratkan

oleh hujan di musim yang berlainan

tak pernah kita

sungguhsungguh datang membawa

niat mengerami telur

di sarangnya sendirisendiri

hingga hangatnya

mampu menggariskan skala

pada teras rumah

yang kian ciut

di susut petang yang hibuk berkarnaval

cerita yang telah kita kisahkan ini, bab

pernah tertulis di buku halaman kesekian

dari lembaran cerita yang ini juga

bahkan alur dan rupa

mengikuti ekor induknya

kupikir

janganjangan kisah ini

seperti kemarin juga

kita akan dibiasakan

menerima pinangan paksa malam

yang sunyikudus

yogyakarta, 2007

(By: Mutia Sukma)


Kataku padamu, tetaplah di sini. selalulah di sini.

Kataku lagi:

Cinta yang Sederhana

ketika bumi ini terlelap dalam kesunyian abadi

aku masih terjaga menungguimu.

ketika malam merangkak di pucuknya,

aku masih berkata-kata tentang cinta.

bila hidup mengembalikan apa saja ke asal mula

aku masih saja merapal ingatan kepadamu.

bahkan, malam pun serupa lantunan doa,

sebab cinta tak mengenal batas siang atau malam,

tidur atau jaga.

maka, sempurnakanlah pejammu

sebab pada mimpi buruk sekali pun

akan kau temukan tanganku terulur kepadamu.

cinta adalah yang bisa merapikan segalanya

dari dosa dan rahasia.

ketika malam mengembalikanmu pada

kesucian paling purba

segala asal mula sedang digarap untukmu.

ketika terbangun dan kau menjumpaiku

dengan seonggok kisah basi

maka itulah cinta. sepenggal kisah sederhana

sepanjang malam dan pagi harimu.

rumahlebah, 2007



Bukankah segalanya telah menyatu bagai s ebua permata yang kita tak bisa memisahkan besi dan emasnya lagi. sebagaimana kau katakan dulu:

"AKu mencintaimu..."


Sunday, April 22, 2007

Perjalanan Kadang Berliku


Sabtu, 21 April 2007. Hari Kartini

Aku dan Tsabit berencana main ke Sukma. pengen malam malam mingguan je. "Ke rumah temennya, Mas, " Kata Takdir dan Puput nyaris bersamaan.

aku dan Tsabit mendesah lirih. gimana ya?

"Hubungi aja mas. SMS aja." Kata Takdir lagi.

Aku coba SMS dan Telpon. gak diangkat sampai lama sekali.

"Oom kok mengang hp trus? mau menghubungi siapa sih?" Tanya Tsabit penuh selidik.

aku bingung, berkali-kali tepon dan sms. gak ada jawaban. semalaman aku murung dan gundah. sukma kenapa?

malam itu aku tau jawabannya. sukma ke rumah teman smanya. mereka jalan-jalan, sukma sengaja gak bawa HP biar tak ada yang mengganhggunya malam ini. mereka jalan-jalan katanya. "Ke UGM, di sebuah kafe kecil, di mana banyak teman-teman baru." Katanya. "Sukma ingin tamasya."

Baiklah. tapi smsnya itu dek...


Minggu, 22 April 2007.

"Koto mau ikut gak? ada pentas Opi di Beringharhjo." Kata Sukma padaku.

Aha, ternyata sukma sudah gak marah lagi ya? Oke, koto ikut...

Acara "MINORITY BEREKSPRESI BEBAS, BEREKSPRESI BURUH GENDONG, Semangat Kartini yang Tak Pernah Mati". yang diselenggarakan oleh Paguyuban Buruh Gendong "Sayuk Rukun".

lumayan menghinur sebenarnya kalau acaranya tidak didominasi penyelenggara yang (sepertinya) hanya mengatasnamakan para ibu-ibu buruh gendong. karena sedikit sekali melibatkan meleka langhsung kecuali di acara door prize. selebihnya musik ngejreng-ngejreng. tahu apa mereka ini dnegan musik ribut semacam ini? ada pentas dari "Seko Nol" yang membacakan surat Kartini dnegan lirih dan pelan. acara yang semula berjalan cukup lucu dan mengharukan itu makin membuat jenuh. dan kami pulang.

Bukan itu, tapi kejadian setelahnya. Kami memutuskan (koto dan sukma, maksudnya) sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya. Kami harus jalan sendiri-sendiri (dulu) agar biasa menikmat, "seberapa butuh sih kita." sungguh, inilah hari selama enam bulan ini yang terasa amat menyedihkan. bagaimana kami akan terbiasa?

malam ini, kami membiarkan bulan dan bintang cemburu. ahai, setelahnya kami akan larut dalam kesendirian..

"Sukma gak bisa koto.." Kata sukma malam itu.
"Semua akan terbiasa dik, cobalah."


Senin 23 April 2007

Sebuah harui yang aneh.

"Koto gak bisa dik.."

"Sabarlah "Beb", semua akan berjalan seperti biasa.."

Saturday, April 21, 2007

catatan hari ini

sabtu, 21 April, Hari Kartini

Sepertinya sukma sedang marah, kesal atau jenuh. malam ini aku ke rumah, dia keluar, ke rumah seorang teman kata Takdir. entahlah. aku coba hubungi no. nya, semula tak aktif, kadang aktif tapi dis eberang tak ada yang mengangkat. aku sms beberapa kali. tak di balas.
sukma jenuh dik?

Episode Sajak Cinta Koto-Sukma 1

Untukmu dek, agar segala keraguan bisa diselesaikan


Dongeng Sederhana sepasang pecinta

:ma

apalagi yang kau minta dari hidup ini, kekasih? semua serba rahasia, tinggal bagaimana kau mempercayainya. di musim hujan di mana jalanan basah, dan ingatan menampung seluruh masalalu. kesepian akan membalutmu

setiap petang. segala kerisauan itu, serahkanlah padaku. kita akan terus menapaki hidup yang melulu itu, pertengkaran sengit lalu berakhir dengan sedu. rambutmu yang meriapkan lumpur membuat aku takut kehilangan. di keningmu, tempat tanah basah itu aku menyimpan sejuta

rahasia yang kelak akan ditumbuhi tangkai-tangkai sajak. kupetik satu untukmu, penadah hujan yang sengit ini. tetaplah di sini, rekatkanlah tanganmu pada pinggangku agar rasa takut bisa berpindah. ketika dingin, abadikan tubuhmu pada pelukku. dan cinta tak menuntut apa-apa selain banyak kehilangan dan jejak hitam. di penghujung

petang, setiap musim apa pun kita selalu diburu cemas. kita masih saja melangkah, melawan dingin dan rasa haru. tak ada tempat berteduh. apa sesungguhnya rumah jika kita tak dapat menampung segala gaduh. ruang tidur tak cukup mampu memagut risau dan kecemasan. sedang kita, hanyalah dua orang manusia yang belum cukup dewasa yang memahami dunia satu-dua warna saja. dan

tanah yang kita duga tempat ari-ari leluhur pernah ditanam hanyalah praduga kosong saja. kau dilamun kerinduan pada leluhur, pada kesiur angin pantai, bibir maut yang cukup biadab. kau rindukan gunung tempat lumpur hitam bersarang. serupa matamu, negeri ini, tanah yang kita pijak, adalah tempat kematian dirayakan dengan berbagai ragam, atas hidup yang kita pahami begitu sederhana. hentikan tangismu kekasih, agar alam tak terus murung. negeri

leluhur tak lebih indah dari ini. yang berbeda hanya warna nasib saja. dan kita terlalu muda untuk memahami banyak hal. mengingat leluhur hanya menambah dendam saja. kadang aku mengutuk, untuk apa kampung halaman jika mayat pun tak bisa berpulang. sebab kematian mengangkang di mana pun kau berdiri. Di tiap simpang dan tikung jalan. bukankah berkali kuingatkan, tak ada lagi yang bisa kau percaya selain cinta yang kupunya. jika tak ada tempat berpulang aku ingin di sini saja. kauwakafkan

tubuhmu untuk kugarap kapan saja. tapi di sini tempat segala kerisauan bersarang apa yang bisa kutanam selain gamang dan rasa bimbang. hujan ini begitu deras sayang. dan kita masih berjalan, menduga-duga sebalik gunung sebagai negeri yang paling aman. apa lagi yang kau risaukan sayang jika memang hidup melulu kehilangan. kini, rapatkanlah tubuhmu ke bahuku agar kurasa dengus napasmu. selebihnya tak ada yang bisa kita lakukan selain percaya pada langit: kapan hujan akan selesai, kapan awan akan meregang. dan aku hanya bisa menghiburmu dengan

kebingungan yang tak bisa kusembunyikan. sebab dongeng-dongeng telah lama usai. dan kita tetaplah sepasang pecinta yang terlalu percaya pada kelembutan

dan rasa rindu. dunia yang semula begitu nyaman oleh haru dan kedamaian semata menipu untuk kita yang tak mengerti apa-apa. cup, apalagi yang kau risaukan selain cinta ini? sebab hujan bisa saja membinasakannya. cup!

rumahlebah, 2007

(Indrian Koto)

Friday, April 20, 2007

Inilah Gumamku

Hai hari ini aku mau posting baru nih. tidak hanya mencatat dan mencatat tapisekarang menulis. hihihihi

semoga ini sebuah jalan baru.

yuk,

koto