Saturday, December 29, 2007
Sepenggal waktu yang sisa
tapi, sungguh aku tak yakin dengan diriku sendiri.
Friday, December 21, 2007
Gumaman Ujung Tahun
Malam Idul Adha
hujan jatuh di sebelahku
sebelahnya lagi sepi bernyanyi
dingin menyusup dalam dadaku
inilah gerhana jiwa
letupan hati yang peling sempurna
ada payung
yang tak satu pun bisa kukenal betul warnanya
tanah basah yang aromanya
bagai tawa manis kekasih
lalu meninggalkanku diam-diam
(Sebuah Hujan)
Selalu, di waktu-waktu special dan intim, aku merasa sendirian. Ini malam, 19 Desember 2007. besok orang-oramng merayakan Idul Adha. Aku mendengar gema takbir berkumandang, aku merasa kian sendirian.
Beginilah mula-mula. Aku sendirian, berhitung dnegan kemiskinan dan rasa sakit. Tak banyak yang kuinginkan dalam hidupku awalnya. Sederhana saja, setiap kali bangun, aku memiliki sebatang rokok dan beberapa receh untuk mengganjal perut. Aku tak terlalu manja sebenarnya. Aku tak perlu jadwal dan rencana. Ketika aku menginginkan sesuatu dan aku mampu maka segalanya berjalan dnegan sederhana.
Tapi segalanya berubah setelah aku bertemu kau.
Aku tak akan menuliskan banyak hal di sini. Aku memulai sesuatu dari awal. Meyakini seseorang, mempercayai sikap dan kata-katanya, mulai mengenal jadwal dan mandi pagi, potong kumis dan hal-hal sederhana yang dulu terlupakan.
Aku terbiasa dan mulai takut kehilanganmu.
Barangkali kita, bermula dari kesakitan orang lain. Kupikir keindahan hanya diciptakan untuk kita. Satu sama lain, sepanjang waktu saling membutuhkan. Dan orang-orang mulai meninggalkan kita satu-satu. Kupikir, jika bersamamu aku merasa lebih bahagia, mengapa aku harus menangisi kehilangan lagi?
Apa yang kekal di dunia ini? Juga dirimu. Berlahan aku merasa, kita semakin jauh. Memang, sepanjang hari kita selalu bersama, selalu ada. Tetapi betapa rasanya ada yang lain kini. Tentu ini bukan yang pertama, tapi kupikir ini yang terakhir. Kau pelan-pelan menjauh dariku dan melewatkan hari-hari special tidak denganku. Dan selalu, sepanjang hari-hari special itu, aku kehilangan kau.
Apakah yang sedikit dans empit ini harus dibagi pada yang lain? Dan aku semakin paham (tapi tak sungguh mampu meyakinkan diri) bahwa kau tak akan pernah pulang lagi, mengetuk pintuku dan menghambur masuk dalam pelukku. “Hujan terlalu deras saying, aku basah.”
Tak. Kupikir, rasanya terlalu banyak hal-hal manis yang tak lagi kau dpatkan dariku. Mungkin kita perlu belajar menghargai. Sementara ini, aku tak bisa lepas darimu sekaligus ingin lari darimu. Aku menyayangi sekaligus membencimu sepenuh hati. Mungkin aku menyayangimu dengan segenap diriku dan membencimu dengan sepenuh hatiku.
Bagiku, memilikimu adalah memiliki dunia ini.
Besok tak ada yang bisa kukorbankan. Hanya dirimu milikku sati-satunya. Tapi kupikir, malam ini aku telah menyiapkan ‘pengorbanan’ yang paling besar dalam hidupku. Dan aku mencintaimu. Aku akan mengorbankan hatiku untuk kebahagiaanmu. Mengorbankan dirimu untuk kebahagiaanmu. Hanya dirimu yang kupunya dan inilah yang harus kuberikan sekarang juga.
Aku tahu, aku akan kehilangan seluruhnya dan tak begitu saja bisa melepasmu. Tapi kupikir waktu akan berdamai juga dengan kita. Dan aku akan merasa (kelak) betapa damainya mendengar takbiran sendirian.
Kepadamu dan seluruh manusia yang mengenalku dan yang aku kenal, aku ingin berkata, “terimalah pengorbananku ini…
Kepada kalian yang sempat mengenaliku
Padamulah sajak ini kutuliskan
Agar tunai utang janjiku
Kepada kalian yang sempat kusakiti
Kutasbihkan tubuh ini untuk seluruh kebencian
Agar kelak tak ada yang mengenang kebaikan
Yang belum pernah kuperbuat
Kepada kalian yang sempat membenciku
Kupercayakan takdirku atasmu
Agar kelak aku tak melulu hitam-putih
Kesadaranku masih penuh
Kadang, untuk sebuah kejahatan tak ada
Yang pernah meniatkan. Dan kejahatan tercipta
Ketika kau merasa menjadi korban.
Kepada kalian yang sempat merasa dendam
Kuyakini dengan segala kesungguhan
Kaulah malaikat itu yang menentukan arah hidupku
Kepada kalian, kurasa tak perlu maaf
Dengan demikian impaslah kita
Dan kalian tak perlu membayar atas pelajaran
Sederhana ini; tak akan ada yang mengulang
Kejahatan yang sempat kuciptakan.
2007
(Sajak Kepada Semua Orang)”
Saturday, December 15, 2007
Penggalan terakhir kisah kami
Catatan Sebelum Hujan Turun
Banyak rencana kita yang batal. Bukan musim hujan ini yang menghancurkan keinginan. Bukan. Kita mungkin tak akan pernah menikmati sore di Patehan, memandang Alun-alun Kidul yang ramai dan berisik suara-suara, kita mungkin tak akan pernah lagi menikmati makan dari kedai Laris yang nasinya menggunung itu, atau jus mangganya. Mungkin aku tak akan pernah berkunjung ke Goeboex lagi untuk menikmati secangkir kopi dan berceloteh banyak hal.
Kita mungkin tak akan benar-benar pernah lagi ke Bantul, memasuki rumah impian, seperti dulu. Melewati jembatan goyang, atau bersandar di batu-batu sambil menatap lembah di balik rerimbunan semak di areal perumahan di bukit berkapur itu. Atau, mungkin kita tidak akan akan pernah lagi ke Sewon, mengajak Tsabit keluar atau sekedar mengantarkan oleh-oleh buat amak.
Aku mungkin tak akan pernah lagi duduk di Garden, mengirim tulisan di warnet kampusmu, sambil menunggumu selesai kuliah. Kita tak akan pernah betul-betul jadi memancing dan menyantap hasil pancingan kita.
Kita mungkin… ah, kalau pun kau akan ke
Pasti, aku akan merindukan saat-saat di mana kau dating dengan kejutan-kejutan kecilmu\. Tentu aku akan merindukan saat-saat di mana kau menyandarkan kepalamu di bahu bungkukku. Atau ketika kau yang tak tahan untuk tak berbaring di pelukanku. Saat kita mempertengkarkan sesuatu, saat kita saling marah dan ngambeg, saat di mana kau dating dan mengajakku makan, saat di mana kau begitu peduli kepadaku. Aku akan merindukan matamu yang basah, merindukan tawamu yang riang, atau kebiasaan unikmu, kentut dan menudingku. Aku akan merindukan bongkahan asap rokok keluar dari mulutmu. Aku selalu akan merindukan wajah letihmu. Saat-saat manjamu, saat kita di suatu tempat. Saat..
Aku akan selalu merindukan itu. Mungkin sesekali kau juga akan mengingat hal yang sama.
“Kita harus saling melupakan.” Begitulah kalimatmu akhirnya. Kata-kata yang sudah beberapa kali sempat kau ucapkan. Kau tahu, utuk melakukannya, kurasa kita akan sama-sama kesulitan. Tetapi apalagi, setelah kita sama-sama sakit, setelah tidurku yang tak akan pernah bisa nyenyak ini. Kau benar, barangkali, inilah jalan satu-satunya. Kau tak bisa meninggalkan orang lain dan lingkungan yang selalu memberimu tempat ternyaman. Mungkin lebih baik kau kehilangan yang satu ini ketimbang kau kehilangan banyak.
Aku mencintaimu. Aku ingin memberi yag baik buatmu. Jika itu adalah membikin jarak dneganku, apa boleh buat? Aku tak tahan didustai dank au tak bisa dicurigai. Kita sama-sama keras kepala dan egois. Aku selalu merasa bodoh dan gampang tertipu ketika kau berbohong padaku. Kau merasa terancam dan diteror tiap kali aku curiga padamu. Apa boleh buat, kita sama-sama memiliki satu hal yang berbeda. Aku tak suka dibohongi, kau tak suka dicurigai. Dan kau tak bisa meninggalkan apa pun untukku. Tentu lebih ringan kehilangan satu ketimbang yang banyak itu.
Tapi bagiku, kehilanganmu adalah kehilangan segalanya. Kupikir kau juga sesekali merasa butuh.
Tapi begitulah hidup. Aku cengeng dan kau begitu tegas. Kupikir segalanya akan baik-baik saja. Ternyata kau mengingat lebih banyak kekuranganku ketimbang kelebihanku. Jadi maafkan aku.
Mungkin saja kita suatu waktu sedang menatap hujan yang sama, di tempat yang berbeda dnegan rasa yang lain pula. Sebab aku begitu mencintai hujan dan selalu ingin masuk di dalamnya. Sednagkau menyukai hujan sebentuk perayaan. Jangan-jangan bersamaku kau seperti sedan menimkmati hujan dan tak berniat masuk ke dalamku?
Aku menyayangimu. Maka aku harus merelakanmu pergi. Sebab kita tak bisa hidup melulu dalam sakit dan sakit. dan kau lebih memilih melupakan semua perihal tentang kita. melupakan hal-hal yang pernah kita lewati, hal-hal yang belum sempat kita lakukan, hal-hal yang masih menjadi impian, hal-hal yang barangkali belum tercatat.
tahun baru ini, seperti tahun-tahun lalu. aku sendiri dengan seluruh kerelaan yang kumiliki.
14 Desember 2007
Wednesday, December 5, 2007
Catatan Singkat
Dongeng Kehilangan
Selasa, 4 Desember 2007
Akhirnya aku mulai membencimu
Membencimu sebagai masalalu yang terlalu singkat
Kesendirian adalah kawan yang paling karib
Kurasa mulai saat ini aku tak lagi memiliki apa-apa. Sepeninggalmu, kurasa aku sudah habis. Aku tahu, waktu akan bergerak seperti biasa, dengan rutinitas yang sama. Matahari akan selalu terbit di Timur dan tenggelam di Barat.
Tetapi kehilangan adalah sebuah peristiwa lain. Kau patut merayakannya.
Segalanya penuh kejutan dan serba rahasia. Aku mengenalmu dan kita akrab dengan cepat dan menggarap peristiwa buru-buru. 24 Oktober saat itu, lebaran ke dua tahun 2006, aku merasa memiliki sebuah tanggung jawab setelahnya. Dan jika kemudian, hari ini semuanya selesai – sebenarnya sejak sebulan yang lalu – aku harus belajar menerima dengan nikmat yang sama. Apa sih yang lebih dekat dengan kita selain sakit?
Kurasa kepedihan ini adalah milik kita. Kau juga merasakannya, mungkin menikmatinya dnegan cara yang lain. Setidaknya, sepeninggalku, kau memiliki kawan berbagi. Dan aku? Tapi kita tidak perlu saling menyalahkan waktu yang berpendar setahun ini bukan?
Maka, jika ada salah, satu-satunya yang bisa kita lakukan tentu saja belajar memaafkan. Selebihnya kau akan menggarap peristiwa lain, dan aku dengan pelan tentu akan belajar melangkah pula.
Betapa takut aku dnegan keberangkatan. Sebab itu pula, aku malas mengagarap kenangan dengan sia pun. Aku malas memulai hubungan dnegan orang-orang baru. Merteka hanya akan menggoreskan peristiwa dan tanpa rasa bersalah akan pergi sejauh-jauhnya.
Kau benar, setelah kehilangan barulah kita mengerti apa makna kehadiran bagi kita. Aku, misalnya dua minggu terakhir dihadapkan pada mimpi buruk tentang kau dan dia. Sungguh, malam-malam begitu menyiksa. Aku tak sepenuhnya bisa tidur. Telah lebih dulu bayangmu kuusir, tapi ia hadir dalam wujud lain. Aku berharap, jika di dunia nyata kita memang harus sama-sama sakit, dalam mimpi auks edikit bisa berdamai dnegan dirimu. Tapi tidak. Aku takut mimpi-mimpi itu menjadi nyata. Kau dan dia, sungguh saat ini aku belum bisa menerima.
Aku mencemburui segala hal yang kauciptakan dnegan orang lain. Maka setiap pertemuan kita selalu diisi dengan pertengkaran sengit. Kita sama-sama keras kepala. Kau tak merasa bersalah dan aku merasa kau masih saja milikku. Dan setelahnya kita hanya saling berpeluk dengan rasa yang lain.
Aku pun belum sepenuhnya bisa menerimamu sebagai teman atau saudara. Terlalu cepat pergantian ini. Aku tak siap.
Tapi sejak kini, setelah pertengkaranm singkat tadi pagi, setelah surat-surat tak terbalas, segala keinginan tak terpenuhi dnegan seluruh hatai aku melepasmu. Semoga aku kuat untuk mengatakan “tidak” untuk setiap ajakanmu, semoga aku bisa jauh-jauhdarimu, membiarkan kebahagiaan menjalar di seluruh dirimu.
Aku tak pernah inginkan dirimu jadi bayang-bayangku. Tak terniat olehku. Siapalah aku diantara keramaian dunia ini? Tapi bagimu ini menyiksa dan kita tak akan bisa hidup karenanya. Bagaimana kita bisa menjalinm peristiwa lain jika kau menganggap aku musuh yang diam-diam menerkammu? Bagaimana aku bisa menerima jika kau pikir aku orang yang diam-diam menghancurkan hidupmu?
Aku mencintaimu maka aku harus emlepaskan dirimu.
Sebuah cerita Murung
Akhirnya, kau mau jujur juga padaku, bercerita tentang banyak hal yang selama ini begitu
Segalanya telah begitu terang, seterang tujuan kita kini. Kesempatan yang dating tentu tidak akan kita lewatkan. Kau sudah begitu jujur padaku, bagaimana aku bisa membenci dan bermusuh dneganmu. Mungkin kita saling membutuhkan dalam soal rasa ini. Dan aku, betapa bahagia sekaligus sedih mendnegar bagian-bagian dari peristiwamu yang aku tangkap intinya, betapa berarti dirimu untuknya.
Tetapi tahukah dirimu, bahwa bagiku kau justru lebih dan amat berarti? Tapi apa kini? Semua
“Sampai saat ini belum ada apa-apa.” Katamu. Tapi waktu? Siapa yang bisa menolak hadirnya.
Petang mengambang, gerimis jatuh dan kita mesti meninggalkan jalan-jalan yang kian ramai. Magrib menjelang di
Mungkinkah ini pulang kita yang terakhir? Aku selalu berharap begitu, tetapi alangkah sukar untuk sekedar berbenah dan meninggalkan rumah yang setahun ini kita akrabi benar lekuk-celahnya. Rumah yang mau tidak mau akan menjadi milik kita yang paling rahasia sebelum kita kembali ke jalan-jalan, mencari tempat berteduh, entah di dada siapa. Dan aku akan kembali menjadi pelabuhan. Pelabuhan yang kali ini –semoga– menerima dan melepas keberangkatan tanpa
Seperti lagu
Kini tibalah saatnya, kita akan berpisah
Pisah bukan selamanya, terserah pada masa.
Setiap keberangkatan akan menemukan pintu pulang. Aku percaya itu. Suatu waktu, kau pun akan merundukan pulang. Tentu saat-saat yang sedikit lebih gawat, saat rumah kita roboh dan aku terkapar endirian. Atau suatu ketika kita tak saling mengenal alamat pulang, tak ada yang kita milikki selain kenangan, tidak nomor hape, alamat rumah atau sedikit peta penunjuk arah.
Mungkin kau memang perlu merasakan sakit agar kau tahu apa rasanya ditinggalkan.
Tentu ini bukan doa, sayangku. Dan ini malam, sebutir obat tidur telah masuk ke perutku yang mulai kosong, lagu-lagu lembut dan aroma terapi telah pula kusediakan agar tidurku bisa lelap, agar mimpi buruk yang dua minggu belakangan ini bisa segera musnah dariku. Dan sebentar lagi aku akan melewati jalan ini, jalan yang berjarak beberapa ratus meter dari tempaku duduk sekarang. Kau menuju pulang, sendirian entah dengan seseorang.