Tuesday, November 27, 2007
Saaat kritis
Sebuah Jalan
aku tahu, aku akan tersesat lagi
seperti tahun-tahun aku belum mengenalmu
jalanan tampak sama dan aku
tak terbiasa mengingat banyak nama
di jalan ini aku mengenalmu
di jalan ini pula kau belajar meninggalkan
aku menyadari dari awal
setiap kali kehilangan, setiap kali menemukan
tetapi, aku mendapatkan kesedihan di sini
bahkan untuk diriku sendiri
aku terus bergantung padamu
betapa aku takut sendirian
sebab telah banyak aku kehilangan
di setiap simpang, di setiap belokan
di mana jalan-jalan bercabang
aku selalu gemetar dan ketakutan.
kau dan mereka sama saja
menggoreskan sedikit kenangan
pada tubuhku lalu berebut saling menjauh
di kota yang ramai ini
orang-orang hibuk dengan nasib sendiri
tapi aku tak ingin menangis lagi
mengingat kepedihan yang aku-kau goreskan
pada tubuh masing-masing
di sana, di jalanan lain, aku tahu
orang-orang menyambutmu dengan riang
kalau pun aku sampai menyusulmu
–meski aku tahu, di kota ini, di tengah keramaian ini
selalu ada tempat bertanya
aku sudah tak mendapatkan apa-apa
mungkin kata-kata sakit yang bisa kita ingat
sebentuk kekejamanku padamu
aku tahu, aku tersesat lagi
seperti tahun-tahun aku belum mengenalmu
di kota ini, di tempat baru, aku tak
mengenal apa pun dan tak berkehendak
mengenal apa pun. aku tahu, waktu
ini akan tiba, akan segera tiba.
dan aku sudah lama menyiapkan
kemungkinannya. tapi selalu saja, tak
ada yang siap ketika kita sampai di persimpangan
aku takut tersesat, dan tak akan
menemukan jalanmu. jalan ramai
di mana aku merasa begitu kecil dan sendirian
november 07
Saturday, November 10, 2007
Belajar Kehilangan
Setiap kali kau menemukan
Adalah juga kehilangan
Kupikir, apa yang kumiliki selama ini tak akan pernah habis untuk kumiliki. Aku berpikir segala yang aku punya tak akan pernah lagi lepas dariku.
Tiba-tiba aku merasa begitu tolol. Aku merasa sudah memiliki dunia ini dengan kesederhaan hidupku. Tak banyak yang kuambil dari dunia ini sebenarnya, secuil saja, selebihnya, bagian besar itu, kuserahkan pada orang lain untuk dimiliki mereka. Mereka butuh hidup yang lebih dariku. Sebagai balasannya, dunia mengambil banyak dariku. Semua, sampai-sampai aku tak memiliki apa pun lagi. Bahkan untuk sekedar menyaksikan milikku yang tiba-tiba bukan milikku lagi.
Bahkan untuk memiliki diriku sendiri, betapa aku sudah tak mampu.
Mengapa selalu ada yang pergi? Mati, itu barangkali mula-mula, sebentuk takdir manusia. Atau mungki ketika Adam dan Hawa dilemparkan dari surga? Ini warisan kesedihan. Meninggalkan dan ditinggalkan.
Manakah yang lebih sakit, meninggalkan atau ditinggalkan?
Setiap kali aku meninggalkan apa pun yang aku miliki, aku merasa kehilangan. Aku merasa ditinggalkan sekaligus. Tapi, mengapa ada yang pergi dnegan ringan hati, tanpa menoleh lagi ke belakang? Kurasa merekalah ksatria. Melepas segala kenangan dan peristiwa di belakang. Mereka mungkin menyadari, bahwa hidup berjalan ke depan. Tapi aku, oleh keberangkatan-keberangkatan, tak pernah menjadikannya matang. Aku selalu kanak setiap kali ada yang hilang, setiap kali ada yang pergi.
Betapa aku tak pernah didewasakan oleh keberangkatan yang membelitku sepanjang usia. Selalu ada yang pergi, meski ada yang dating, tapi betapa tidak sebanding antara keduanya itu, hingga aku nyaris tak memiliki apa-apa lagi saat ini. juga diriku sendiri.
Bagiku, meninggalkan sama seperti melepas keberangkatan. Sama-sama merasa kehilangan.
Thursday, November 8, 2007
beberapa dokumentasi ketika di Padang
sajak Buat Mutia Sukma 2
Dongeng Sederhana sepasang pecinta
:ma
apalagi yang kau minta dari hidup ini, kekasih? semua serba rahasia, tinggal bagaimana kau mempercayainya. di musim hujan di mana jalanan basah, dan ingatan menampung seluruh masalalu. kesepian akan membalutmu
setiap petang. segala kerisauan itu, serahkanlah padaku. kita akan terus menapaki hidup yang melulu itu, pertengkaran sengit lalu berakhir dengan sedu. rambutmu yang meriapkan lumpur membuat aku takut kehilangan. di keningmu, tempat tanah basah itu aku menyimpan sejuta
rahasia yang kelak akan ditumbuhi tangkai-tangkai sajak. kupetik satu untukmu, penadah hujan yang sengit ini. tetaplah di sini, rekatkanlah tanganmu pada pinggangku agar rasa takut bisa berpindah. ketika dingin, abadikan tubuhmu pada pelukku. dan cinta tak menuntut apa-apa selain banyak kehilangan dan jejak hitam. di penghujung
petang, setiap musim apa pun kita selalu diburu cemas. kita masih saja melangkah, melawan dingin dan rasa haru. tak ada tempat berteduh. apa sesungguhnya rumah jika kita tak dapat menampung segala gaduh. ruang tidur tak cukup mampu memagut risau dan kecemasan. sedang kita, hanyalah dua orang manusia yang belum cukup dewasa yang memahami dunia satu-dua warna saja. dan
tanah yang kita duga tempat ari-ari leluhur pernah ditanam hanyalah praduga kosong saja. kau dilamun kerinduan pada leluhur, pada kesiur angin pantai, bibir maut yang cukup biadab. kau rindukan gunung tempat lumpur hitam bersarang. serupa matamu, negeri ini, tanah yang kita pijak, adalah tempat kematian dirayakan dengan berbagai ragam, atas hidup yang kita pahami begitu sederhana. hentikan tangismu kekasih, agar alam tak terus murung. negeri
leluhur tak lebih indah dari ini. yang berbeda hanya warna nasib saja. dan kita terlalu muda untuk memahami banyak hal. mengingat leluhur hanya menambah dendam saja. kadang aku mengutuk, untuk apa kampung halaman jika mayat pun tak bisa berpulang. sebab kematian mengangkang di mana pun kau berdiri. Di tiap simpang dan tikung jalan. bukankah berkali kuingatkan, tak ada lagi yang bisa kau percaya selain cinta yang kupunya. jika tak ada tempat berpulang aku ingin di sini saja. kauwakafkan
tubuhmu untuk kugarap kapan saja. tapi di sini tempat segala kerisauan bersarang apa yang bisa kutanam selain gamang dan rasa bimbang. hujan ini begitu deras sayang. dan kita masih berjalan, menduga-duga sebalik gunung sebagai negeri yang paling aman. apa lagi yang kau risaukan sayang jika memang hidup melulu kehilangan. kini, rapatkanlah tubuhmu ke bahuku agar kurasa dengus napasmu. selebihnya tak ada yang bisa kita lakukan selain percaya pada langit: kapan hujan akan selesai, kapan awan akan meregang. dan aku hanya bisa menghiburmu dengan
kebingungan yang tak bisa kusembunyikan. sebab dongeng-dongeng telah lama usai. dan kita tetaplah sepasang pecinta yang terlalu percaya pada kelembutan
dan rasa rindu. dunia yang semula begitu nyaman oleh haru dan kedamaian semata menipu untuk kita yang tak mengerti apa-apa. cup, apalagi yang kau risaukan selain cinta ini? sebab hujan bisa saja membinasakannya. cup!
rumahlebah, 2007
:ma
apalagi yang kau minta dari hidup ini, kekasih? semua serba rahasia, tinggal bagaimana kau mempercayainya. di musim hujan di mana jalanan basah, dan ingatan menampung seluruh masalalu. kesepian akan membalutmu
setiap petang. segala kerisauan itu, serahkanlah padaku. kita akan terus menapaki hidup yang melulu itu, pertengkaran sengit lalu berakhir dengan sedu. rambutmu yang meriapkan lumpur membuat aku takut kehilangan. di keningmu, tempat tanah basah itu aku menyimpan sejuta
rahasia yang kelak akan ditumbuhi tangkai-tangkai sajak. kupetik satu untukmu, penadah hujan yang sengit ini. tetaplah di sini, rekatkanlah tanganmu pada pinggangku agar rasa takut bisa berpindah. ketika dingin, abadikan tubuhmu pada pelukku. dan cinta tak menuntut apa-apa selain banyak kehilangan dan jejak hitam. di penghujung
petang, setiap musim apa pun kita selalu diburu cemas. kita masih saja melangkah, melawan dingin dan rasa haru. tak ada tempat berteduh. apa sesungguhnya rumah jika kita tak dapat menampung segala gaduh. ruang tidur tak cukup mampu memagut risau dan kecemasan. sedang kita, hanyalah dua orang manusia yang belum cukup dewasa yang memahami dunia satu-dua warna saja. dan
tanah yang kita duga tempat ari-ari leluhur pernah ditanam hanyalah praduga kosong saja. kau dilamun kerinduan pada leluhur, pada kesiur angin pantai, bibir maut yang cukup biadab. kau rindukan gunung tempat lumpur hitam bersarang. serupa matamu, negeri ini, tanah yang kita pijak, adalah tempat kematian dirayakan dengan berbagai ragam, atas hidup yang kita pahami begitu sederhana. hentikan tangismu kekasih, agar alam tak terus murung. negeri
leluhur tak lebih indah dari ini. yang berbeda hanya warna nasib saja. dan kita terlalu muda untuk memahami banyak hal. mengingat leluhur hanya menambah dendam saja. kadang aku mengutuk, untuk apa kampung halaman jika mayat pun tak bisa berpulang. sebab kematian mengangkang di mana pun kau berdiri. Di tiap simpang dan tikung jalan. bukankah berkali kuingatkan, tak ada lagi yang bisa kau percaya selain cinta yang kupunya. jika tak ada tempat berpulang aku ingin di sini saja. kauwakafkan
tubuhmu untuk kugarap kapan saja. tapi di sini tempat segala kerisauan bersarang apa yang bisa kutanam selain gamang dan rasa bimbang. hujan ini begitu deras sayang. dan kita masih berjalan, menduga-duga sebalik gunung sebagai negeri yang paling aman. apa lagi yang kau risaukan sayang jika memang hidup melulu kehilangan. kini, rapatkanlah tubuhmu ke bahuku agar kurasa dengus napasmu. selebihnya tak ada yang bisa kita lakukan selain percaya pada langit: kapan hujan akan selesai, kapan awan akan meregang. dan aku hanya bisa menghiburmu dengan
kebingungan yang tak bisa kusembunyikan. sebab dongeng-dongeng telah lama usai. dan kita tetaplah sepasang pecinta yang terlalu percaya pada kelembutan
dan rasa rindu. dunia yang semula begitu nyaman oleh haru dan kedamaian semata menipu untuk kita yang tak mengerti apa-apa. cup, apalagi yang kau risaukan selain cinta ini? sebab hujan bisa saja membinasakannya. cup!
rumahlebah, 2007
sajak-sajak Untuk Mutia Sukma 1
Hujan yang Tersesat
aku menggenggam tanganmu lagi
sebentuk usaha terakhir mempertahankan
diri dari kesakitan yang panjang. sebab hujan
akan turun dari tubuh kita, mula-mula.
mestinya hujan tak turun di sini
di musim kemarau yang terlambat pulang.
tapi dunia bukan hanya milik
kita yang hanya bisa berkata-kata.
juni, bantalku basah, sapardi.
aku terapung di ranjang yang menjelma
kolam renang. langit mendung, barusan
hujan istirah, barangkali ia capek
melarikan diri dari kerja main-main ini.
aku menggenggam tanganmu lagi,
serupa masa kanak yang tidak
memerlukan lambang dan tanda-tanda.
dunia hanyalah kepingan-kepingan lukakata
yang merapatkan diri sukarela.
malam serupa permainan kecil
memaksa kita masuk ke ranjang, ke bibir
rahim. usia melaju begitu jauh. tak ada
stasiun di sini. segalanya
melewati rel panjang menuju langit yang barangkali
segera runtuh. seperti tubuhku yang tenggelam
kian dalam. terbenam ke dasar hatimu.
“sukma, tubuh ini milikmu,” teriak seorang penyair
yang membenci hujan. tapi malam yang main-main
ini, hujan yang tersesat ini pecah di kepalanya
serupa dia, aku pun tak ada jika sukma
sudah tak ada.
aku menggenggam tanganmu, lagi
dan ingin lagi. aku perlu berjemur di halaman
sempit itu, di mana rumput-rumputnya
yang kembali hijau menantangku
untuk berlabuh. tapi sapardi telah
merontokkan segala rencana
bagi seorang pembenci hujan semacam aku
yang selalu basah tiba-tiba.
yogya, juni 2007
aku menggenggam tanganmu lagi
sebentuk usaha terakhir mempertahankan
diri dari kesakitan yang panjang. sebab hujan
akan turun dari tubuh kita, mula-mula.
mestinya hujan tak turun di sini
di musim kemarau yang terlambat pulang.
tapi dunia bukan hanya milik
kita yang hanya bisa berkata-kata.
juni, bantalku basah, sapardi.
aku terapung di ranjang yang menjelma
kolam renang. langit mendung, barusan
hujan istirah, barangkali ia capek
melarikan diri dari kerja main-main ini.
aku menggenggam tanganmu lagi,
serupa masa kanak yang tidak
memerlukan lambang dan tanda-tanda.
dunia hanyalah kepingan-kepingan lukakata
yang merapatkan diri sukarela.
malam serupa permainan kecil
memaksa kita masuk ke ranjang, ke bibir
rahim. usia melaju begitu jauh. tak ada
stasiun di sini. segalanya
melewati rel panjang menuju langit yang barangkali
segera runtuh. seperti tubuhku yang tenggelam
kian dalam. terbenam ke dasar hatimu.
“sukma, tubuh ini milikmu,” teriak seorang penyair
yang membenci hujan. tapi malam yang main-main
ini, hujan yang tersesat ini pecah di kepalanya
serupa dia, aku pun tak ada jika sukma
sudah tak ada.
aku menggenggam tanganmu, lagi
dan ingin lagi. aku perlu berjemur di halaman
sempit itu, di mana rumput-rumputnya
yang kembali hijau menantangku
untuk berlabuh. tapi sapardi telah
merontokkan segala rencana
bagi seorang pembenci hujan semacam aku
yang selalu basah tiba-tiba.
yogya, juni 2007
Tuesday, November 6, 2007
semua, maafkanlah aku
dek, inilah koto yang sukma kenal itu.
tak ada yang manis yang akan kau kenang dek. sama sekali tak ada. apa yang baik yang bisa dikenang olehmu sukma? setelah setahun, setelah semuanya genap kita lakukan.
jika ini terjadi, mungkin inilah takdir kita. semoga sama-sama ada pelajaran bagi kita.
dan kita selalu ingin, peristiwa berakhir dnegan baik bukan?
dan kita juga
Pada akhirnya
inilah, pada akhirnya aku harus pergi darimu, ma. sebuah keputusan yang akhirnya mau tidak mau harus kita sepakati. aku pergi dengan meninggalkan seluruh cinta yang kumiliki. tak ada yang kuambil selain tubuhku. dan kau terus saja tumbuh di diriku.
ajarkan aku cara melupakan. ajarkan aku melepas seluruh keperihan.
tak sesiapa yang bisa kita salahkan. tak sesiapa. mungkin waktu
dan kini, setelah setahun itu...
ajarkan aku cara melupakan. ajarkan aku melepas seluruh keperihan.
tak sesiapa yang bisa kita salahkan. tak sesiapa. mungkin waktu
dan kini, setelah setahun itu...
Subscribe to:
Posts (Atom)